Dalam hadits nabi s.a.w. menyebutkan
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا، فَلا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya: "Jika salah seorang di antara kalian merasakan sesuatu di dalam perutnya dan ia ragu apakah keluar sesuatu (kentut) atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan salat) sampai ia mendengar suara atau mencium baunya." (HR. Muslim, No. 362)
Contoh kaidah ini adalah apabila Seseorang yang yakin bahwa dirinya dalam keadaan suci (tidak berhadats) kemudian muncul dalam benaknya keraguan apakah ia telah berhadats ataukah belum, maka asalnya ia masih dalam keadaaan suci, sampai ia yakin bahwa ia memang telah berhadats. Demikian pula, seseorang yang yakin bahwa ia dalam keadaan berhadats kemudian ragu-ragu apakah ia sudah bersuci ataukah belum maka asalnya ia tetap dalam keadaan berhadats.13
Contoh lain dari kaidah ini adalah seseorang yang makan pada akhir siang hari (menjelang maghrib)dan dia meragukan apakah sudah terbenam matahari atau tidak. Puasanya batal karena yang menjadi al Ashlu adalah tetapnya siang. Jika ada yang makan pada waktu akhir malam sedangkan dia meragukan terbitnya fajar, puasanya tetap sah. Sebab al-ashlu adalah tetapnya malam.14
12 Muhammad Harfin Zuhdi, Qawâ’id Fiqhiyyah ( Mataram: Institut Agama Islam Negeri (IAIN),2016 ), 113.
13https://almanhaj.or.id/2510-kaidah-ke-11-hukum-asal-segala-sesuatu-adalah-tetap-dalam-keadaannya-se mula.html
14 Thalhah, KAIDAH FIQHIYAH FURU’IYAH: PENERAPANNYA PADA ISU KONTEMPORER, Jurnal Tahkim Vol. X No. 1, Juni 2014
الأصل براءة الذمة
Artinya: “Secara hukum asal seseorang itu terbebas dari segala tanggungan”. Secara bahasa, al-dzimmah berarti "janji", sementara dalam istilah hukum, al-dzimmah merujuk pada keadaan yang membuat seseorang terikat oleh kewajiban tertentu. Kaidah ini secara tegas menyatakan bahwa tanggung jawab untuk membuktikan gugatan berada pada pihak penggugat, karena ia membuat klaim yang berlawanan dengan kondisi hukum asal15.
Contoh dari kaidah ini adalah Jika seseorang merusak harta milik orang lain dan terjadi perselisihan mengenai besaran kerugian, misalnya pemilik harta mengklaim bahwa kerugiannya sebesar Rp. 50.000, sementara orang yang merusak (mutlif) mengatakan kerusakan tersebut hanya senilai Rp. 35.000, maka dalam kasus ini, pihak mutlif yang dimenangkan dengan sumpahnya. Hal ini dikarenakan ia menolak besaran tanggung jawab yang lebih besar dan hanya mengakui tanggung jawab yang lebih kecil. Dengan demikian, hukum asal menyatakan bahwa seseorang bebas dari tanggungan sepenuhnya, atau setidaknya dari tanggungan yang lebih besar.
15 Muhammad Harfin Zuhdi, Qawâ’id Fiqhiyyah hal.117
من شك أفعل شيئا أم لا فالأصل أنه لم يفعل
Artinya: “ Barangsiapa yang ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka menurut asalnya ia dianggap tidak melakukannya”
Maksud dari kaidah ini adalah, jika seseorang merasa ragu apakah ia sudah melakukan suatu pekerjaan atau belum, maka menurut kaidah ini, orang tersebut dianggap belum melakukan pekerjaan tersebut.
Contoh dari kaidah ini Jika seseorang ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum, maka yang dianggap benar adalah bahwa ia belum berwudhu. Hal ini karena keadaan belum berwudhu adalah kondisi asal, di mana manusia pada dasarnya tidak terikat kewajiban, sedangkan berwudhu merupakan salah satu bentuk kewajiban yang harus dipenuhi.16
16 Imam Musbikin, Qawaid Fiqhiyah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hal.63
من تيقن الفعل وشك فى القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه المتيقن
Artinya: “Barangsiapa yang yakin melakukan pekerjaan tetapi ragu-ragu tentang sedikit banyaknya perbuatan, maka yang dianggap adalah yang sedikit karena hal itu yang meyakinkan”.
Kaidah ini terkait dengan prinsip bahwa keyakinan lebih kuat daripada keraguan dalam hukum Islam. Apabila seseorang yakin telah melakukan suatu tindakan, namun tidak yakin mengenai jumlah atau ukurannya, maka yang dianggap adalah jumlah yang lebih kecil, karena itu yang dapat dipastikan. Keraguan mengenai jumlah yang lebih besar tidak dapat mempengaruhi hukum, sebab yang kecil adalah yang sudah diyakini kebenarannya.
Contoh dari kaidah ini adalah apabila seseorang ragu mengenai jumlah rakaat dalam shalat,apakah ia telah melaksanakan tiga rakaat atau empat rakaat,maka yang dianggap adalah tiga rakaat, karena tiga rakaat adalah yang pasti. Jumlah empat rakaat belum tentu dilakukan, dan untuk mencapai empat rakaat, seseorang harus melewati tiga rakaat terlebih dahulu. Oleh karena itu, tiga rakaat adalah jumlah yang dapat dipastikan.17
17Muchlis Usman, Qa‟idah-Qa‟idah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2002) 117
إن ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين
Artinya: “Sesungguhnya sesuatu yang berdasarkan keyakinan, tidak dapat dihilangkan kecuali dengan yang yakin pula”
Misalnya, dalam konteks shalat berjama‘ah, jika seorang imam ragu apakah ia sudah melaksanakan tiga rakaat atau empat rakaat dalam shalat Ashar, tetapi setelah berpikir sejenak, ia meyakini bahwa baru tiga rakaat yang telah dilakukannya, maka ia berdiri untuk melanjutkan rakaat keempat. Namun, jika makmum mengingatkan imam dengan membaca "Subhanallah", hal ini menunjukkan bahwa mereka yakin bahwa rakaat yang telah dilaksanakan sudah empat. Dalam situasi ini, imam tidak boleh melanjutkan berdiri untuk rakaat keempat karena sudah ada keyakinan yang lebih kuat dari para makmum bahwa shalat telah sempurna..18
Contoh lain dari penerapan kaidah ini adalah dalam kasus seseorang yang bepergian dengan kapal laut, kemudian kapal tersebut tenggelam. Apabila kejadian tenggelamnya kapal sudah dipastikan secara nyata, maka para penumpang yang berada di dalam kapal dianggap meninggal meskipun tubuh mereka belum ditemukan. Hal ini berdasarkan dugaan kuat (zhan ghalib) bahwa seseorang tidak bisa bertahan hidup di dalam kapal yang tenggelam. Berdasarkan keyakinan ini, segala urusan yang berkaitan dengan orang yang dianggap telah meninggal, seperti status pernikahan, pembagian warisan, dan hal-hal lainnya, dapat segera diselesaikan sesuai dengan hukum syariat yang berlaku untuk orang yang sudah wafat..19
18 Muhammad Harfin Zuhdi, Qawâ’id Fiqhiyyah hal.120
19 Thalhah, KAIDAH FIQHIYAH FURU’IYAH: PENERAPANNYA PADA ISU KONTEMPORER, Jurnal Tahkim Vol. X No. 1, Juni 2014
إن ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين
“Asal dari segala hukum adalah tidak adanya beban”
Maksud dari kaidah ini yaitu apabila dalam suatu perkara terdapat keraguan yang sebelumnya tidak ada, maka hukumnya ditentukan sebagaimana asalnya atau sebelumnya dan sifat-sifat yang baru tersebut dianggap tidak ada.20
Contoh :
● Perselisihan yang terjadi antara penjual dengan pembeli mengenai barang yang dijual belikan. Pembeli mengatakan bahwa barang itu jelek dan terdapat cacat, namun penjual mengatakan bahwa barang itu bagus dan tidak terdapat cacat. Pada asalnya barang itu bagus karena masih baru sedangkan cacat adalah sifat-sifat yang datang kemudian, maka yang dibenarkan adalah perkataan penjual.
● Ketika Rania telah ditetapkan mempunyai hutang kepada Mar’ah. Lalu Rania menyatakan telah melunasi atau telah dibebaskan hutangnya oleh Mar’ah. Yang dibenarkan dalam kasus ini adalah ucapan Rania, sebab hukum asalnya tidak ada pelunasan dan pembebasan.
20 Bisri M.A, Terjemah Faraidul Bahiyyah (Risalah Qowaid Fiqh) hal 10-11
الأصل في كل حادث تقديره بأقرب زمن
“Pada dasarnya setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat”.
Maksud dari kaidah ini yaitu apabila seseorang mengalami suatu kejadian dan ada keraguan mengenai kapan peristiwa tersebut terjadi, maka hukum yang ditetapkan adalah berdasarkan waktu yang paling dekat dengan kejadian, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi Kecuali ada bukti lain yang menyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.21
Contoh :
● Seseorang melihat bekas mani pada celana yang ia pakai. Padahal ia tidak ingat bermimpi basah, maka wajib mandi besar menurut pendapat shahih. Ia juga berkewajiban mengulangi shalat-shalat yang dilakukan setelah tidurnya yang terakhir. Karena tidur terakhir itulah masa terdekat kemungkinan ia keluar sperma.
● Dalam waktu beberapa hari Mahda wudlu di sumur, kemudian melakukan shalat. Lalu ia menemukan bangkai yang menajiskan airnya. Dalam kasus ini, Mahda tidak wajib mengqadha’ sholatnya kecuali shalat yang diyakininya dengan najis tersebut.
● Nana memukul perut Ofa yang sedang hamil, lalu bayi di kandungannya lahir dalam keadaan sehat. Namun, beberapa hari kemudian si bayi meninggal. Dalam kasus ini, Nana tidak dapat dituntut pertanggungjawaban atas kematian bayi Ofa. Sebab, dimungkinkan kematiannya terjadi karena sebab selain pemukulan perut Ofa.
21 M. Hamim, Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah : Penjelasan Nadhom Al-Faraid Al-Bahiyah, Kediri, Lirboyp Press
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Segala sesuatu itu pada dasarnya boleh, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya”.
Menurut Imam Syafi’I segala sesuatu yang mempunyai manfaat adalah halal selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan hukum asal sesuatu yang membahayakan adalah haram. Oleh karena itu, segala sesuatu yang diciptakan-Nya pada dasarnya diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Namun, jika terdapat dalil yang tegas dari Al-Quran atau Sunnah yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan itu dilarang, maka hukumnya menjadi haram. Sedangkan hukum asal sesuatu yang membahayakan adalah haram. 22Beliau berpijak pada dalil berikut.
قُلْ لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يُطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِةٌ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dihukumi haram sudah ditetapkan oleh Allah. Sehingga suatu perkara yang tidak ada ketetapan haramnya dari Allah maka dihukumi halal. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah sebagai berikut.
مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَهُوَ حَلالٌ وَ مَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَّتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْو
“Apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram, sedangkan apa yang didiamkannya adalah dimaafkan.”
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasannya semua makanan yang halal dan baik untuk dikonsumsi diperbolehkan. Namun, jika ada makanan yang jelas-jelas diharamkan dalam Al-Quran, seperti daging babi atau bangkai, maka kita wajib menjauhinya. Begitu pula dalam hal perbuatan. Semua perbuatan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam pada dasarnya diperbolehkan. Namun, jika ada perbuatan yang jelas-jelas dilarang, seperti berzina atau mencuri, maka kita harus menjauhinya.
Adapun contoh kaidah ini yaitu :
● Terdapat seekor binatang yang mana kita belum mengetahui halal atau haramnya hewan tersebut untuk dikonsumsi. Maka menurut Imam Syafi’I hewan tersebut halal untuk dikonsumsi.
● Tumbuh-tumbuhan yang tidak diketahui jenis dan namanya halal hukumnya
22 M. Hamim, Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah : Penjelasan Nadhom Al-Faraid Al-Bahiyah, Kediri, Lirboyp Press
الأصل في الأشياء التحريم حتى يدل الدليل على الإباحة
“Segala sesuatu itu pada dasarnya haram, kecuali bila ada dalil yang memperbolehkannya.”
Kaidah ini merupakan kebalikan dari kaidah sebelumnya dan dipakai para pengikut madzhab Hanafi untuk memutuskan beragai macam problematika. Adapun contoh dari kaidah ini yaitu :
● Tumbuh-tumbuhan yang tidak diketahui jenis dan namanya haram hukumnya
● Hewan yang tidak diketahui secara jelas dalam syariat hukumnya haram untuk duikonsumsi.
Perbedaan antara Imam Syafi’i dan Hanafi akan tampak pada perkara yang tidak mempunyai keterangan jelas dari syariat. Seperti dalam kaidah ini menurut Imam Hanafi, asal suatu perkara adalah haram kecuali ada dalil tegas yang menghalalkannya. Alasannya, suatu pekerjaan merupakan tasharruf pada kepemilikan orang lain tanpa seizinnya dan setiap penggunaan hak milik orang lain tanpa izin adalah haram. Sedangkan, dalam kaidah sebelumnya menurut Imam Syafi’i asal segala sesuatu itu halal, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. 23
Perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Hanafi mempunyai pengecualian yakni dalam masalah farji. Dalam perkara satu ini beliau sepakat menghukuminya haram.
● Dalam sebuah desa terdapat sepuluh perempuan, yang salah satunya mempunyai hubungan mahram dengan Harun. Akan tetapi, Harun tidak mengetahui perempuan mana yang memiliki hubungan mahram dengannya. Maka menurut hukum kaidah ini, Harun tidak diperbolehkan untuk menikahi salah satu dari sepuluh perempuan tersebut.
23 M. Hamim, Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah : Penjelasan Nadhom Al-Faraid Al-Bahiyah, Kediri, Lirboyo Press
الأصل في الكلام الحقيقة
“Ucapan itu asalnya adalah haqiqah”
Maksud dari kaidah ini yaitu apabila seseorang mendapati ucapan yang bisa diartikan haqiqah dan dapat pula diartikan majaz atau kiasan, maka ucapan itu harus diartikan secara haqiqah. Kecuali jika terdapat faktor yang menetapkan ucapan itu harus diarahkan pada majaz seperti tidak mungkin diarahkan pada makna hakikatnya.24
Adapun yang dimaksud dengan hakikat pada kaidah ini ialah lafal atau kata yang digunakan sesuai maksud lafal tersebut dimunculkan pertama kalinya. Sedangkan majaz adalah penggunaan makna kedua dari asal lafal tersebut dimunculkan.
Contoh :
● Seseorang bersumpah, “Demi Allah, saya tidak akan membeli baju,” lalu ia menyuruh orang lain untuk membelikan baginya, maka menurut kaidah ini orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah. Sebab, pada hakikatnya ia tidak melakukan pembelian
● Jika seseorang mewakafkan harta pada anaknya maka cucunya tidak masuk dalam lafal tersebut, sebab hakikat anak adalah anak kandung.
● Bersumpah tidak akan membeli barang. Maka orang yang bersumpah tidak dihukumi melanggar sumpah kecuali dengan pembelian yang sah menurut syara’. Sebab hakikat pembelian menurut syara’ adalah pembelian yang sah
● Bersumpah tidak akan memakan kambing, maka dihukumi melanggar sumpah ketika memakan dagingnya, karena dagingnya merupakan hakikat kambing. Namun, ia tidak dihukumi melanggar sumpah jika memakan kulit atau meminum susunya
24 M. Hamim, Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah : Penjelasan Nadhom Al-Faraid Al-Bahiyah, Kediri, Lirboyo Press
KESIMPULAN
Kaidah اليقين ال يزال بالشك menegaskan bahwa sesuatu yang sudah pasti tidak bisa dihilangkan hanya dengan adanya keraguan. Dalam hukum Islam, sesuatu yang telah diyakini sebelumnya tidak akan berubah atau hilang oleh keraguan yang muncul kemudian.
Secara etimologis, اليقين berarti keyakinan yang pasti, sedangkan الشك berarti keraguan atau kebingungan antara dua hal yang berlawanan tanpa kepastian. Kaidah ini digunakan untuk menentukan hukum dalam berbagai situasi, termasuk ibadah dan transaksi sehari-hari. Dalam konteks fiqh, selain al-yaqin dan al-syak, ada juga istilah dzan (dugaan kuat) dan wahm (dugaan lemah). Dzan adalah prasangka yang kuat namun belum mencapai level yakin, sedangkan wahm adalah prasangka yang sangat lemah dan tidak dapat dijadikan dasar hukum. Keyakinan yang kuat berdasarkan dalil lebih diutamakan dalam penetapan hukum dibandingkan dengan keraguan atau prasangka.
Kaidah ini mengajarkan umat Islam untuk mengedepankan keyakinan dan menghindari prasangka atau keraguan yang dapat merusak kepercayaan terhadap suatu hal dalam segala aspek kehidupan, termasuk ibadah dan muamalah.
DAFTAR PUTAKA
Al-Nadawi, Ali Ahmad, (2000), al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Beirut: Darul Qalam, Bisri, M. A. (1977). Terjemah Al-Faroidul Bahiyyah [Risalah Qowaid Fiqh] (pp. 1–92).
Djazuli, A. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2005)
Ibrahim, Duski. "Al-QawaId Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih)." Palembang: Noerfikri, 2019.
Musbikin, I. ( 2001). Qawaid Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,.
Rohim, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah, Jombang: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG
Sudirman, Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh (Jakarta: Anglo Media, 2004)
Thalhah. (2014). KAIDAH FIQHIYAH FURU’IYAH: PENERAPANNYA PADA ISU KONTEMPORER. Jurnal Tahkim Vol. X No. 1.
Usman, M. (2002). Qa‟idah-Qa‟idah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu, (2009), Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, T.T.P.: Pustaka Al-Furqon.
Zuhdi, M. H. (2016). Qawâ’id Fiqhiyyah. Mataram: Institut Islam Negeri (IAIN).
HR., M. H. (n.d.). Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah : Penjelasan Nadhom Al-Faraid Al-Bahiyah. Kediri: Lirboyo Press.