PENDAHULUAN
Latar Belakang
Khitbah merupakan suatu tahapan yang biasa dilakukan sebelum melangsungkan akad dalam pernikahan. Dalam ajaran islam khitbah dilakukan oleh seorang laki-laki kepada perempuan pilihannya sebelum dijadikan istri. Para laki-laki tersebut melakukan khitbah untuk mengenal empat kriteria perempuan yang dipilihnya yaitu, hartanya, keturunannya, nasabnya dan agamanya.
Di dalam rangkaian khitbah terdapat pemberian yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai tanda keseriusannya dalam proses khitbah dan proses yang akan berlanjut setelah khitbah.Pemberian tersebut biasa disebut dengan mahar. Dalam hal ini agama islam sangatlah memperhatikan dan menghargai kedudukan perempuan karena mahar sebagai bentuk balasan atau tanda terimakasih kepada seorang perempuan yang telah rela untuk di khitbah o;eh seorang laki-laki. pemberian mahar dalam islam diwajibkan berdasarkan dalil al-Qur‟an dan sunnah.
Pelaksanaan khitbah dan pemberian mahar telah diatur dengan sedemikian seksama dalam al-Qur‟an dan hadist Nabi Muhammad SAW. Seperti halnya syarat, anjuran serta larangan yang ada dalam pelaksanaan khitbah dan pemberian mahar. Maka dari itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk membahas lebih mendalam mengenai khitbah dan mahar.
PEMBAHASAN
Pengertian Khitbah Dan Landasan Hukum Khitbas
a. Pengertian khitbah
Kata “peminangan” Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang” (kata kerja). Sinonim kata “meminang” adalah melamar, yang dalam bahasa Arab disebut “khitbah”. Sedangakan secara terminologi, peminangan adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istrinya, dengan cara yang umum dan berlaku di tengah-tengah masyarakat.1 Dengan melakukan khitbah seorang laki-laki dapat mengenal empat kriteria calon istrinya,2seperti diisyaratkat sabda Rasululloh SAW:
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَربَتْ يَدَاكَ
"Telah menceritakan kepada kami [Zuhair bin Harb], [Muhammad bin Al Mutsanna] dan ['Ubaidullah bin Sa'id] mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa'id] dari ['Ubaidillah] telah mengabarkan kepadaku [Sa'id bin Abu Sa'id] dari [ayahnya] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Seorang wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung." 3
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dan diriwayatkan oleh para penulis Sunan. Artinya, masyarakat biasanya mendambakan seorang wanita dan memilihnya karena salah satu kualitasnya: kecantikan, uang, garis keturunan, dan agama. Sudah selayaknya orang-orang ksatria dan pemuka agama menjadikan agama sebagai cita-cita pertimbangan mereka datang dan tinggalkan, terutama pada apa yang permanen dan yang bahayanya besar.
Dalam kompilasi hukum islam pasal 1 bab 1 memberi pengertian bahwa yang dimaksud khitbah (peminangan) ialah kegiatan-kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara pria dengan seorang wanita.4
Sedangkan dalam ilmu fiqh khitbah (peminangan) ialah pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya, baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung atau dengan perantara pihak yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.5
1Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 73-74.
2Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h.62-63
3HR. Shahih Muslim No. 2661
4Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2008, h. 1
5Djaman Nur, Fiqh munakahat, Semarang: Toha putra semarang, 1993, h. 13.
b. Landasan Hukum Khitbah
Dasar peminangan inilah mengapa Rasulullah Saw, dalam sebuah haditsnya ia mengatakan bahwa setiap laki-laki untuk melakukan peminangan. Hal ini dipandang menjadi dasar peminangan, dikarenakan kedua mempelai akan mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan dan membentuk sebuah keluarga. Seorang laki-laki boleh melamar secara terus terang atau tashrih, secara sindirian atau ta‟ridh kepada wanita yang berstatus sendiri (single), baik yang masih perawan maupun janda yang sudah habis masa iddahnya. Sedangkan kepada janda yang masih dalam masa iddah, maka dia hanya boleh mengungkapkan rasa cintanya secara kiasan, dan jika selesai masa iddahnya, maka dia boleh melamarnya secara terus terang.
Adapun dasar nash Al-qur‟an tentang khitbah atau lamaran adalah Q. S Al Baqarah (2) ayat 235
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَربَتْ يَدَاكَ
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 235)
Dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibakannya, berarti hukumnya mubah.6 Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat Imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadits-hadits nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.7
Pinangan atau lamaran seorang laki-laki kepada seorang perempuan boleh dengan ucapan langsung maupun secara tertulis. Meminang perempuan sebaiknya dengan sindiran. dalam meminang dapat dilakukan dengan tanpa melihat wajahnya, juga dapat melihat wanita yang dipinangnya. Sedangkan dalam hadis di jelaskan bahwa:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ»، قَالَ : فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; Rasulullah saw. Bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang memotivasinya untuk menikahinya hendaknya ia melakukannya.” Jabir berkata; kemudian aku meminang seorang gadis dan aku bersembunyi untuk melihatnya hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku pun menikahinya. (HR. Abu Daud).
Hadits tersebut menunjukkan keutamaan memandang wanita yang ingin dinikahinya, dan diperbolehkan melihat wajah dan tangannya, karena itu menunjukkan kecantikan atau kebalikannya dengan wajah, dan dengan tangan kesuburan tubuh. Atau kekurangannya, dan ini adalah doktrin sebagian besar, dan itu bukan syarat bahwa wanita itu puas dengan penampilan itu, melainkan dia boleh melakukannya karena kelalaiannya, dan tanpa memberi tahu dia, sebagai sahabat Jabir, semoga Tuhan Jika dia tidak dapat melihat, maka sebaiknya dia mengutus seorang wanita yang dia percayai untuk menemuinya dan memberitahunya dalam kapasitasnya. Hal ini hanya diperbolehkan, karena itu lebih baik dan dia ingin mendamaikan mereka, sebab jika pernikahan mereka setelah berkenalan sering kali tidak ada penyesalan setelahnya.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ. وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
Dari Ibn Umar ra, dia berkata: Nabi saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli sebagian yang lain. Dan janganlah seseorang melamar (seorang wanita) atas lamaran saudaranya hingga pelamar pertama meninggalkannya atau memberi izin kepadanya.
Hadits tersebut Tidak diperbolehkan untuk melamar wanita yang sudah dipinang oleh laki-laki lain dalam Islam. Hingga ikatan mereka lepas – misalnya dengan keputusan mereka untuk membatalkan pernikahan mereka, atau dengan izin laki-laki yang melamar wanita itu lebih dulu.
6Imam Hafiz Al-Mushannif, Al-Muttaqin Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Daar Ibn Hazm), Jilid II, h. 480.
7Ibnu Rusyd, Binayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid II, (Beirut: Darul Fikri), h. 3.
B. Syarat-Syarat Khitbah
Para Ulama fikih mensyaratkan bagi-laki-laki yang akan mengkhitbah wanita pilihannya hendaknya memperhatikan dua syarat ini:
a) Syarat Mustahsinah
Syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang hendak meminang seorang wanita agar ia meneliti terlebih dahulu seorang wanita yang akan dipinangnya, sehingga ia dapat menjamin kelangsungan hidup ketika berumah tangga nantinya. Syarat Mustahsinah adalah:
1) Wanita yang akan dipinang itu hendaklah sejodoh (sekufu‟) dengan laki-laki yang meminangnya, seperti sama kedudukannya dalam masyarakat, sama sama baik bentuknya, sama dalam tingkat kekayaan, sama-sama berilmu dan lain sebagainya.
2) Wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan wanita peranak.
3) Wanita yang akan dipinang hendaklah wanita yang tidak memiliki hubungan darah dengan pria yang meminangnya. Dalam surat An-nisa‟ ayat 23 telah dijelaskan tentang larangan pernikahan sedarah yang berbunyi:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوتُكُمْ وَعَمَّتُكُمْ وَخُلْتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَتُكُمُ الَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوتُكُم مِّنَ الرَّضَعَةِ وَأُمَّهَتْ نِسَائِكُمْ وَرَبَّيْبُكُمُ الَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ الَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَّيْلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلُّبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. An-Nisa‟ ayat 23)
4) Hendaknya mengetahui keaadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari wanita dipinang. Sebaliknya wanita yang dipinang harus mengetahui pula keadaan yang meminangnya.8
Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan, akan tetapi hanya sebagai anjuran dan kebiasaan baik saja. Tanpa terpenuhinya syarat-syarat ini peminangan tetap sah.
b) Syarat Lazimah
Syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sahnya peminangan tergantung kepada adanya syarat lzimah, yaitu:
1) Wanita yang dipinang bukan istri orang lain dan tidak dalam pinangan laki-laki atau sedang dipinang laki-laki lain. Diperbolehkan meminang wanita tersebut jika laki tersebut telah melepaskan hak pinangnya.9
Berdasarkan hadist nabi SAW:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ السَّرْحِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ
"Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin 'Amr bin As Sarh], telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Az Zuhri] dari [Sa'id bin Al Musayyab] dari [Abu Hurairah], ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh seorang laki-laki meminang pinangan saudaranya."10
2) Wanita yang dipinang tidak dalam masa 'iddah talak raj'i, karena yang lebih berhak menikahinya adalah mantan suaminya.11 Haram hukumnya meminang wanita dalam masa 'iddah talak raj'i. Bekas suaminya boleh merujuknya kapan saja ia kehendaki dalam masa iddah itu. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذُلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلُحًا
”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.”12 (Al-Baqarah:228)
3) Perempuan yang akan dipinang hendaklah yang boleh dinikahi. Artinya, perempuan tersebut bukan mahram bagi laki-laki yang akan meminangnya.
8 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, Cet. III). h. 33. 9Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h. 65. 10 HR. Abu Daud. No. 1781
11 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, Cet. III). h. 33.
C. Aturan-Aturan Dalam Khitbah Perspektif Hadist Nabi Muhammad SAW. Agama islam ialah agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, dimana
agama islam sudah menyediakan perangkat aturan dan etika, termasuk dalam hal khitbah (melamar atau meminang) wanita untuk dijadilkan istri. Dalam hal ini, beliau sudah memberikan panduan cara meng-khitbah dan rangkaian proses pernikahan kepada kita. Maka dari itu kami akan memberikan beberapa hadist Nabi SAW yang memiliki keterkaitan dengan prosesi khitbah.
1. Hadits-hadits tentang melamar
a. Melamar Sendiri Sang Gadis Pujaan
Jika para laki-laki sudah memiliki calon yang akan ia khitbah dan merasa cocok, maka diperbolehkan baginya melamar wanita tersebut sendiri tanpa ditemani oleh siapapun. Hal tersebut diperbolehkan dalam agama islam.13
b. Melamar Kepada Wali Atau Orang Tuanya
Cara kedua bagi laki-laki apabila hendak melamar wanita adalah dengan cara mendatangi langsung rumahnya lalu menemui orang tuanya. Cara ini dilakukan di masyarakat hingga saat ini. Dalam sebuah hadist dari Aisyah, Rasululloh SAW. Bersabda:
“Bahwa Aisyah istri Nabi Saw telah mengabarkan kepadanya bahwa; Sesungguhnya pada masa jahiliah ada empat macam bentuk pernikahan. Pertama, adalah pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian memberikannya mahar lalu menikahinya”. (HR. Bukhari)14
13 Ahmad Zawawi Abdullah, Panduan Merancang Keluarga Bahagia, (Kuala Lumpur: Utusan Publications dan Distributors Sdn Bhd), h. 3.
14 HR.Bukhori.no.4732
c. Melamar Melalui Wakil Atau Pemuka Masyarakat
Pihak laki-laki boleh juga meng-khitbah wanita melalui pemuka masyarakat, guru ngaji atau tokoh agama. Cara ini banyak dilakukan oleh masyarakat saat ini, atau bahkan mungkin menjadi cara yang paling banyak dilakukan apabila pihak laki-laki yang melamar tersebut bukan dari golongan tokoh terpandang, sehingga dirasa perlu menggunakan wakil atau perantara dalam lamaran.
Rasululloh SAW bersabda:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ حَدَّثَنِي ابْنُ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ لَمَّا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بَعَثَ إِلَيْهَا أَبُو بَكْرٍ يَخْطُبُهَا عَلَيْهِ فَلَمْ تَزَوَّجْهُ فَبَعَثَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَخْطُبُهَا عَلَيْهِ فَقَالَتْ أَخْبِرْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي امْرَأَةٌ غَيْرَى وَأَنِّي امْرَأَةٌ مُصْبِيَةٌ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي شَاهِدٌ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَيْهَا فَقُلْ لَهَا أَمَّا قَوْلُكِ إِنِّي امْرَأَةٌ غَيْرَى فَسَأَدْعُو اللَّهَ لَكِ فَيُذْهِبُ غَيْرَتَكِ وَأَمَّا قَوْلُكِ إِنِّي امْرَأَةٌ مُصْبِيَةٌ فَسَتُكْفَيْنَ صِبْيَانَكِ وَأَمَّا قَوْلُكِ أَنْ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي شَاهِدٌ فَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِكِ شَاهِدٌ وَلَا غَائِبٌ يَكْرَهُ ذَلِكَ فَقَالَتْ لِابْنِهَا يَا عُمَرُ قُمْ فَزَوِّجُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَزَوَّجَهُ مُخْتَصَرٌ
"Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Yazid] dari [Hammad bin Salamah] dari [Tsabit Al Bunani] telah menceritakan kepadaku [Ibnu Umar bin Abi Salamah] dari [ayahnya] dari [Ummu Salamah], tatkala 'iddahnya selesai, Abu Bakr mengirim utusan kepadanya untuk melamarnya, hanya ia enggan. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Umar bin Al Khathab untuk melamarnya, dan ia berkata; Tolong beritahu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kalau saya wanita pencemburu, banyak anak, serta tidak ada seorang waliku yang menyaksikan. Kemudian Umar datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan persoalannya. Lalu beliau bersabda: "Kembalilah kepadanya dan katakan; adapun perkataanmu, 'Saya wanita pencemburu, saya akan berdoa kepada Allah sehingga Dia menghilangkan rasa cemburumu, Adapun perkataanmu 'Saya wanita yang banyak anak' maka akan dicukupkan bagimu anak-anakmu, adapun perkataanmu bahwa tidak ada seorangpun waliku yang menyaksikan, Ketahuilah bahwa tidak ada seorangpun walimu yang menyaksikan atau tidak, lantas membenci pernikahan ini tersebut." Maka Ummu Salamah berkata; "Wahai Umar, berdirilah dan nikahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Kemudian ia menikahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. (HR. An-Nasa‟i)15
d. Wanita Boleh Menawarkan Diri Kepada Laki-Laki Yang Shalih
Seorang laki-laki diperbolehkan untuk melamar wanita yang ia pilih, maka seorang wanita juga di perbolehkan untuk menawarkan diri untuk dinikahi.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا مَرْحُومٌ سَمِعْتُ ثَابِتًا أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْرِضُ عَلَيْهِ نَفْسَهَا فَقَالَتْ هَلْ لَكَ حَاجَةٌ فِيَّ فَقَالَتْ ابْنَتُهُ مَا أَقَلَّ حَيَاءَهَا فَقَالَ هِيَ خَيْرٌ مِنْكِ عَرَضَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسَهَا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] telah menceritakan kepada kami [Marhum] saya mendengar [Tsabit] bahwa dia mendengar [Anas] radliallahu 'anhu berkata; "Seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menawarkan dirinya, katanya; "Apakah engkau membutuhkanku?" maka anak perempuan (Anas bin Malik) berkata; "Alangkah sedikit malunya perempuan itu." Anas bin Malik berkata; "Ia lebih baik darimu, dia tawarkan dirinya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."16
15 HR. An-Nasai’I, no.3202
16 HR. Sahih Bukhori.no.5856
e. Melihat Wanita Yang Hendak Di Lamar
Setiap laki-laki yang melamar wanita diperbolehkan melihat wajah wanita yang hendak di lamar dan wali juga harus memperlihatkan anak gadisnya terhadap laki-laki yang ingin melihat dahulu rupa dan raut wajah wanita tersebut.
f. Melaksanakan Shalat Istikharah
Seorang laki-laki yang melamar akan mengalami keraguan dan kebimbangan dalam hati ketika memutuskan untuk menikah, ada baiknya sebelum melamar atau menentukan calon jodoh dianjurkan untuk melaksanakan shalat istikharah terlebih dahulu. Rasululloh SAW bersabda:
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمَّا انْقَضَتْ عِدَّةُ زَيْنَبَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِزَيْدٍ اذْكُرْهَا عَلَيَّ قَالَ زَيْدٌ فَانْطَلَقْتُ فَقُلْتُ يَا زَيْنَبُ أَبْشِرِي أَرْسَلَنِي إِلَيْكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُكِ فَقَالَتْ مَا أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتَّى أَسْتَأْمِرَ رَبِّي فَقَامَتْ إِلَى مَسْجِدِهَا وَنَزَلَ الْقُرْآنُ وَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ بِغَيْرِ أَمْرِ
Telah mengkhabarkan kepada kami [Suwaid bin Nashr], ia berkata; telah memberitakan kepada kami [Abdullah], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Al Mughirah] dari [Tsabit] dari [Anas], ia berkata; tatkala telah habis 'iddah Zainab, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Zaid: "Sebutkan saya kepadanya." Zaid berkata; kemudian saya pergi dan berkata; wahai Zainab, bergembiralah. Saya diutus Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadamu, beliau menyebut dirimu. Kemudian ia berkata; saya tidak dapat berbuat sesuatupun hingga meminta petunjuk kepada Tuhanku. Kemudian ia beranjak menuju Masjidnya dan turunlah Al Qur'an. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang kemudian masuk tanpa perintah.17
2. Larangan dan Pantangan Saat Melamar
Adapun larangan dan pantangan saat melamar wanita adalah sebagai berikut: a. Melamar wanita yang sudah dilamar laki-laki lain.
b. Melakukan khalwat saat khitbah dan sesudahnya.
“Dari Ibnu Abbas Radhiallahu'anhuma bahwa dia mendengar Nabibersabda Saw, Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. (HR. Bukhari)18
c. Terlalu besar maharnya.
“Dari Aisyah dari Nabi Saw bersabda, "Wanita yang paling besarberkahnya adalah yang paling ringan maharnya”. (HR. Ahmad)
d. Wali menerima lamaran tanpa persetujuan dari si wanita.
Dalam kitab Al-Tanbih dijelaskan bahwa:
“Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib bagi wali untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis maka boleh bagi ayah atau kakek menikahkannya dengan tanpapersetujuannya. Dan disunnahkan meminta persetujuan gadis tersebut apabila ia telah baligh, dan izinnya adalah diam. Apabila wanita itu janda, baligh, berakal maka seseorang tidak boleh menikahkannya kecuali atas persetujuannya, dan izinnya adalah dengan ucapan. Apabila wanita itu gila, masih kecil, maka bagi ayah atau kakek boleh menikahkannya, dan apabila telah dewasa, ayah, kakek, dan hakim juga boleh menikahkannya”.19
e. Berbusana secara berlebihan.
يُبَنِيَ ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوَا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-A‟raf: Ayat 31)
f. Membatalkan lamaran secara tiba-tiba tanpa ada alasan yang jelas. Pembatalan tersebut berarti hilangnya janji setia di antara kedua belah pihak.
g. Memberikan hadiah kepada wanita yang dilamarnya.
Agama islam memperbolehkan Seorang laki-laki memberikan hadiah kepada wanita yang dilamarnya sebagai tenda keseriusannya terhadap wanita yang dilamarnya.20 Akan tetapi agama Islam tidak mewajibkan memberi hadiah saat melamar kecuali (mahar) begitupun agama tidak melarangnya.
17HR.An-Nasa’i.no.3199.
18 Muhammad Bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Juz 1, 1971), h. 174.
19 Al-Imam Al-Syirazi, Al-Tanbih, (Damsyiq: Al-Kalam, 1994), h. 429.
20 Iva Afianti, Selubung Cinta Di Mudhalifah, (Bandung: Mizania, 2009), h. 128.
D. Pengertian Mahar dan Syarat Mahar
a. Pengertian Mahar
Secara bahasa, mahar صداق artinya Maskawin. Dan di dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia, mahar atau maskawin disamakan shaduqat dari Rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata Shadaqah yang terkenal. Dalam maknanya terkandung Perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya harta yang Diberikan dengan putih hati, hati suci, muka jernih Kepada mempelai perempuan ketika akan menikah. Arti yang mendalam dari makna mahar itu ialah laksana Cap atau stempel, bahwa nikah itu telah dimateraikan. Mahar (maskawin) secara terminologi menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar adalah harta yang diberikan kepada Perempuan dari seorang laki-laki ketika menikah atau bersetubuh (wathi‟). Menurut Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, mendefinisikan mahar atau Shadaq ialah sejumlah harta yang wajib diberikan karena Nikah atau wathi‟ (persetubuhan). Maskawin dinamakan Shadaq karena di dalamnya terkandung pengertian Sebagai ungkapan kejujuran minat pemberinya dalam Melakukan pernikahan. Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan, bahwa mahar itu adalah:
اسم للمال الَّذِي يَجِبُ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ عَلَى الزَّوْجِ في مقابلة البضع يقع
“Harta yang diwajibkan atas suami ketika Berlangsungnya akad nikah sebagai imbalan dari Kenikmatan seksual yang diterimanya”.
Mahar sendiri secara etimologi memiliki arti maskawain. Dalam istilah Indonesia biasa dikenal dengan maskawin namun dalam al-Qur‟an dikenal dengan beberapa istilah:
a) Ujr jamak dari kata ajrum yang artinya hadiah atau ganjaran.
b) Saduqot jamak dari kata saduqoh yang artinya pemberian yang ditulis.
c) Faridah yang artinya sesuatu yang di wajibkan atau sesuatu yang di tetapkan Pemberian mahar adalah salah satu yang di syariatkan oleh ajaran agama
islam. Mahar diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sama halnya dengan seperti lamaran yang mana diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk dipinang dan meminta izin kepada orang tua nya untuk menikahinya. Maka dari itu mahar juga salah satu bentuk bukti ketulusan hati.
Mahar bukan hanya sejumlah uang,harta atau barang yang lainnya namun juga bentuk keseriusan seorang laki-laki maka dari itu mahar juga dinamai dengan shidaq [kebenaran]. Namun bukan berarti wanita tidak menjual dirinya dengan mahar. Dengan adanya mahar dapat menciptakan sarana bagi wanita juga untuk menunaikan kewajibannya.
b. Syarat Mahar
Para ahli fiqih menetapkan beberapa syarat mahar yang akan diberikan laki-laki kepada perempuan yang di khitbahnya yaitu:
a) Dari benda halal yang suci.
Barang harus terhindar dari unsur haram karena mahar boleh untuk diperjualbelikan lagi atau dimanfaatkan semestinya.
b) Hendaknya mahar diberikan dalam bentuk benda yang bermanfaat dan ada harganya.
Selain benda-benda yang haram, mahar juga tidak diperbolehkan dalam bentuk benda yang kurang bermanfaat atau tidak ada harganya seperti sampah/biji-bijian/buah-buahan yang busuk yang sudah tidak layak dikonsumsi. Dalam hal ini telah dijelaskan dalam kitab al-fiqhu ala madzahabi al-arba‟a yang artinya, mahar adalah sesuatu harta benda yang mempunyai harga, maka tidak sah mahar dengan harga yang murah yang tidak mempunyai nilai seperti biji-bijian gandum.
c) Benda yang dimiliki.
Maksud dari benda yang dimiliki ialah benda yang diserahkan kepada perempuan dan bisa disimpan dengan demikian mahar tidak boleh seperti burung yang terbang diudara atau ikan dilaut yang belum menjadi miliknya.
E. Landasan Hukum Mahar
Sedangkan para ulama fiqih sepakat bahwa dasar hukum mahar adalah wajib. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisa‟ ayat 4:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(An-Nisa‟ ayat 4)21
Dalam ayat tersebut dapat dilihat bahwa allah telah memerintahkan pada suami untuk membayar mahar pada istrinya karena hal tersebut adalah wajib. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang Wanita dengan memberikan hak kepadanya. Diantaranya yaitu memberikan hak untuk menerima maskawin, dan mahar hanya boleh di berikan kepada calon istri nya saja, meskipun sangat dekat hubungan dengannya orang lain tidak boleh ikut campur apalagi sampai menggunakan mahar itu bahkan suaminya sendiri kecuali sang istri memberikan nya dengan ridho atau kerelaan dari dirinya sendiri.
Selain dalam al-Qur‟an hukum mahar juga dijelaskan dalam hadist Rasululloh SAW riwayat At-Tirmidzi:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدِ السَّاعِدِى أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ، فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيلاً فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَوِّحْنِيهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بهَا حَاجَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقهَا إِيَّاهُ ». فَقَالَ مَا عِنْدِي إِلَّا إِزارِي هذا . فقالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « إِنَّكَ إِنْ أَعْطَيْتَهَا إِزَارَكَ جَلَسْتَ وَلَا إِزَارَ لَكَ فَالْتَمِسُ شَيْئًا ». قَالَ لا أَجِدُ شَيْئًا قَالَ « فَالْتَمِسُ وَلَوْ خَالَمًا مِنْ فَالْتَمسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم « فَهَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْءٍ ». قَالَ نَعَمْ سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا لِسُوَرٍ سَمَّاهَا. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم « قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَ حَدِيدٍ ».
“Dari Sahl bin Sa'idi, sesungguhnya Rasulallah SAW kedatangan tamu seorang wanita yang mengatakan: "Ya Rasulallah, sesungguhnya aku serahkan diriku kepadamu". Lalu wanita itu berdiri cukup lama sekali. Kemudian tampil seorang laki laki dan berkata: "Ya Rasulallah SAW nikahlah aku dengannya jika memang engkau tidak ada minat kepadanya". Rasulallah SAW lalu bertanya: Apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa diberikan sebagai maskawin kepadanya?" Lali-laki itu menjawab "Saya tidak membpuyai apa-apa kecuali kain sarung yang saya pakai ini". Nabi berkata lagi: "Jika sarung tersebut engkau berikan kepdanya, maka engkau akan duduk desgan tidak mengenakan kain sarung lagi. Kerena itu carilah yang lain". Lalu ia mencari tidak mendapatkan sesuatu. Nabi bersabda lagi kepadanya: "Carilah meskipun hanya sebentuk cincin dari besi". Lelaki itu pun mencoba menyarinya namun tidak mendapatkan apa- apa. Lalu rasulallah SAW bertanya lagi kepada laki laki tadi: "Apakah kamu hafal sedikit saja dari ayat-ayat Al-Qur'an", Lelaki tadi menjawab: "Tentu saja, aku hafal surah ini dan surah ini". Ada beberapa surat yang ia sebutkan lalu Rasulallah SAW bersabda kepadanya: "Kalau begitu aku tukalikan kamu dengannya dengan maskawin surat Al-Qur'an yang kamu hafal”22 Mahar sebagai sebuah kewajiban dalam perkawinan Islam, maka kehadirannya tentu memiliki landasan Hukum yang menjadi dasar yang kuat sebagai pegangan Calon suami sebagai pihak yang mempunyai kewajiban Membayar mahar kepada calon istri. Adapun dasar Hukum diwajibkannya mahar adalah sebagai berikut:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدَقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْشَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagat makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. Maksud dari ayat diatas adalah berikanlah mahar kepada istri sebagai pemberian wajib, bukan pemberian atau ganti rugi.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa harus terdapat jeda waktu antara lamaran dan pernikahan yang ditentukan, dalam hal ini tidak ditemukan dalil yang sharih tentang keharusan adanya jarak waktu antara khitbah dan akad nikah, baik sebulan, dua bulan atau berapa lamapun. Kalau pun jarak dibutuhkan jarak waktu yang cukup lama, mungkin untuk mempertimbangkan masalah teknisi saja.23
21 Al-Qur'an Surat An-Nisa': 4, h.
22 HR.At-Tirmidzi.no.4696
23 Muh. Hambali, Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari Dari Kandungan Hingga Kematian, (Yogyakarta: Laksana), hal. 403-409.
F. Korelasi Hikmah Antara Pelaksanaan Khitbah dan Pemberian Mahar Dalam Islam
Disyariatkannya mahar oleh Allah SWT untuk mengangkat derajat perempuan dan memberikannya penjelasan bahwa prosesi setelah khitbah atau akad pernikahan mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkan pemberian mahar kepada laki-laki bukan kepada perempuan, karena laki-laki lebih mampu berusaha. Diwajibkannya pemberian mahar seperti halnya seluruh materi perempuan yang dikhitbahnya yang akan menjadi tanggung jawab laki-laki tersebut. Seorang perempuan pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapan yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada laki-laki juga.
Oleh karena itu, merupakan suatu relevan seorang laki-lakii dibebani mahar untuk diberikan kepada seorang perempuan.24 Apabila praktik yang berlaku di sebagian masyarakat, bahwa calon mempelai laki-laki pada saat khitbah telah memberikan sejumlah pemberian, demikian itu dilakukan semata-mata sebagai kebiasaan yang dianggap baik sebagai tanda cinta pihak laki-laki kepada perempuan pilihannya.25
Hikmah disyariatkannya mahar adalah menunjukan bahwa tanggung jawab laki-laki dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah kepada perempuani, karena laki-laki adalah pemimpin atas perempuan dalam kehidupan rumah tangganya. Islam mensyariatkan mahar bagi laki-laki kepada perempuansebagai tanda kebaikan niat suci, dan penghormatan bagi dirinya, pengganti aturan atau Tradisi Jahiliyah yang berlaku sebelum datang Islam. Saat itu perempuan datang dipandang rendah dan hina. Bahkan tak jarang, hak perempuan di injakinjak dan dirampas oleh suaminya. Padahal mahar adalah milik hak penuh bagi istri yang tidak dapat diganggu gugat meskipun oleh walinya.
Perempuan mempunyai kebebasan dan wewenang penuh atas hartanya ini untuk membelanjakan atau bershadaqah sesuka hatinya, jadi mahar dalam Islam adalah lambang saling menghargai antara suami istri, suami memberi dan istri menerima penghargaan itu. Namun berarti mahar menjadi sesuatu yang menyulitkan sebab mahar bukanlah suatu syarat dan rukun dalam akad perkawinan melainkan hanya salah satu hukum dan akibat dari akad nikah, oleh karena itu penyebutan mahar pada saat nikah bukan suatu yang wajib, bahkan suatu akad nikah yang dianggap sah.
24 Abdil Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fikih Munakahat Khitbah Nikah dan Talak (Jakarta: Amzah, t.t.), hal. 177.
25 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Di Indonesia Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 87.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata "peminangan" berasal dari kata "pinang, meminang," yang sinonimnya adalah "melamar," dan dalam bahasa Arab disebut "khitbah." Secara terminologi, peminangan adalah permintaan seorang laki-laki kepada perempuan untuk dijadikan istrinya, sesuai adat yang berlaku di masyarakat. Melalui khitbah, seorang laki-laki dapat mengenal calon istri berdasarkan empat kriteria yang disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW, yaitu harta, keturunan, kecantikan, dan agama, dengan penekanan untuk memilih karena agama. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, serta penulis Sunan lainnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (Pasal 1, Bab 1), khitbah didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan menuju perjodohan antara pria dan wanita. Dalam ilmu fiqh, khitbah adalah pernyataan atau permintaan menikah yang bisa dilakukan secara langsung oleh pria atau melalui perantara sesuai ketentuan agama.
Peminangan (khitbah) dalam Islam dianjurkan sebagai langkah awal sebelum pernikahan, dimana seorang laki-laki bisa melamar perempuan secara langsung atau dengan sindiran, sesuai status perempuan tersebut, apakah dia masih perawan, janda yang sudah selesai masa iddah, atau masih dalam masa iddah. Dasar hukum peminangan diambil dari Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah ayat 235, yang membolehkan laki-laki untuk melamar dengan sindiran atau menyimpan keinginan dalam hati, namun akad nikah tidak boleh dilangsungkan sebelum masa iddah selesai. Ulama sepakat bahwa peminangan hukumnya mubah (diperbolehkan), meskipun Imam Daud Al-Zhahiriy berpendapat bahwa pinangan adalah wajib berdasarkan tradisi Nabi. Pinangan dapat dilakukan secara langsung maupun tertulis, dan laki-laki diperbolehkan untuk melihat calon istri sebelum menikah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Jabir bin Abdullah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan dalam memilih pasangan. Selain itu, tidak diperbolehkan melamar wanita yang sudah dipinang oleh laki-laki lain kecuali lamaran tersebut sudah dibatalkan atau pelamar pertama mengizinkannya. Ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar.
Para ulama fikih menetapkan dua syarat penting bagi seorang laki-laki yang ingin meminang seorang wanita: 1. Syarat Mustahsinah, syarat ini bersifat anjuran, yaitu hal hal yang disarankan tetapi tidak wajib dipenuhi sebelum peminangan. Syarat-syarat tersebut adalah: a) Sekufu‟ (sejodoh), laki-laki dan perempuan yang akan menikah sebaiknya memiliki kesetaraan dalam hal status sosial, penampilan, kekayaan, dan ilmu pengetahuan, b) wanita yang penyayang dan subur (banyak anak), dianjurkan memilih wanita yang dikenal memiliki sifat kasih sayang dan subur, c) tidak ada hubungan darah, laki-laki tidak boleh meminang wanita yang memiliki hubungan darah, sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dalam Surat An-Nisa' ayat 23, d) mengetahui kondisi fisik dan budi pekerti, Dianjurkan bagi kedua pihak untuk mengetahui kondisi jasmani dan kepribadian satu sama lain sebelum menikah. 2. Syarat Lazimah (Wajib) Syarat ini wajib dipenuhi, dan peminangan tidak sah tanpa memenuhinya: a) wanita yang dipinang bukan istri orang lain atau sedang dipinang laki-laki lain, tidak diperbolehkan melamar wanita yang masih dalam pinangan orang lain kecuali lamaran tersebut telah dilepaskan, b) wanita tidak dalam masa iddah talaq raj'I, Jika seorang wanita masih dalam masa iddah dari talak raj'i, mantan suaminya masih memiliki hak untuk merujuknya, c) wanita bukan mahram, wanita yang dipinang haruslah yang boleh dinikahi dan tidak termasuk dalam kategori mahram bagi laki-laki yang meminangnya. Syarat mustahsinah adalah anjuran yang memperkuat kelangsungan rumah tangga, sementara syarat lazimah adalah syarat mutlak yang menentukan sahnya peminangan.
Islam sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah menyediakan pedoman lengkap mengenai proses khitbah (melamar) dalam pernikahan. Berikut beberapa poin penting yang berkaitan dengan khitbah dalam Islam:
a. Cara Melamar:
∙ Melamar Sendiri: Laki-laki diperbolehkan melamar sendiri wanita pilihannya jika merasa cocok.
∙ Melamar Melalui Wali atau Orang Tua: Biasanya laki-laki datang ke rumah calon wanita dan berbicara dengan orang tuanya untuk melamar.
∙ Melalui Wakil atau Pemuka Masyarakat: Laki-laki juga dapat meminta bantuan pemuka masyarakat atau tokoh agama dalam proses melamar.
∙ Wanita Menawarkan Diri: Wanita juga diperbolehkan menawarkan diri untuk dinikahi oleh laki-laki yang saleh.
∙ Melihat Wanita yang Dilirik: Dalam Islam, laki-laki dianjurkan melihat wajah wanita yang ingin dilamar untuk mengetahui kecocokan.
∙ Shalat Istikharah: Sebelum melamar, disarankan melaksanakan shalat istikharah untuk meminta petunjuk dari Allah.
b. Larangan dan Pantangan dalam Melamar:
∙ Melamar Wanita yang Sudah Dilamar: Tidak diperbolehkan melamar wanita yang sudah dalam proses lamaran dengan laki-laki lain.
∙ Khalwat: Laki-laki dan wanita yang belum menikah tidak boleh berkhalwat atau berduaan tanpa mahram.
∙ Terlalu Besar Mahar: Islam menganjurkan mahar yang sederhana.
∙ Lamaran Tanpa Persetujuan Wanita: Wali tidak boleh menikahkan wanita tanpa persetujuannya.
∙ Berbusana Berlebihan: Islam melarang berlebihan dalam penampilan, termasuk dalam acara khitbah.
∙ Pembatalan Lamaran Tanpa Alasan Jelas: Pembatalan tanpa alasan jelas dianggap tidak etis.
∙ Pemberian Hadiah: Diperbolehkan memberi hadiah saat melamar, namun tidak diwajibkan.
∙ Panduan ini menunjukkan pentingnya etika dalam melamar menurut ajaran Islam.
Secara bahasa mahar (maskawin) dalam bahasa Arab berasal dari kata صداق yang bermakna maskawin, juga terkait dengan kata شدةق) shadaqah) yang mengandung makna kejujuran dan ketulusan hati. Mahar berarti pemberian dengan hati yang tulus kepada mempelai perempuan saat pernikahan, sebagai simbol bahwa pernikahan tersebut telah sah dan dimateraikan. Menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar, mahar adalah harta yang diberikan kepada perempuan oleh seorang laki-laki saat pernikahan atau hubungan seksual (wathi‟). Syaikh Zainuddin Al-Malibari mendefinisikan mahar sebagai sejumlah harta yang wajib diberikan karena nikah atau wathi‟. Ini menunjukkan kejujuran dari pihak laki-laki dalam melangsungkan pernikahan. Dalam Mazhab Hanafi Mahar adalah harta yang wajib diberikan oleh suami pada saat akad nikah sebagai imbalan dari kenikmatan seksual yang akan diterimanya dalam pernikahan.
Istilah Mahar dalam Al-Qur'an: a. Ujr, Hadiah atau ganjaran, b. Saduqot, Pemberian yang tertulis, c. Faridah, Sesuatu yang diwajibkan atau ditetapkan. Makna mahar dalam Islam, mahar bukan hanya sekadar sejumlah uang atau barang, tetapi juga menunjukkan keseriusan dan ketulusan laki-laki dalam menikahi perempuan. Mahar dikenal sebagai simbol "shidaq" atau kebenaran, namun tidak dimaksudkan bahwa wanita menjual dirinya. Mahar memberikan hak bagi perempuan dan menciptakan sarana baginya untuk menunaikan kewajiban dalam pernikahan.
Para ahli fiqih menetapkan beberapa syarat terkait mahar yang diberikan laki-laki kepada perempuan yang dilamar, yaitu: a. dari benda halal yang suci, mahar harus terhindar dari unsur haram, karena bisa diperjualbelikan atau dimanfaatkan secara semestinya, b. berbentuk benda yang bermanfaat dan ada harganya, mahar tidak boleh berupa benda yang tidak bermanfaat atau tidak bernilai, seperti sampah atau buah busuk. Mahar harus berupa harta yang memiliki nilai. Hal ini dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu 'ala Madzahibi al-Arba‟a yang menegaskan bahwa mahar harus berupa harta yang bernilai, c. benda yang dimiliki, mahar harus berupa benda yang bisa diserahkan dan dimiliki oleh perempuan. Contohnya, mahar tidak boleh berupa burung yang masih terbang di udara atau ikan yang belum tertangkap di laut, karena belum menjadi milik pemberi mahar.
Para ulama fiqih sepakat bahwa mahar dalam pernikahan adalah wajib, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadits. Dalam Surat An-Nisa‟ ayat 4, menegaskan bahwa suami wajib memberikan mahar kepada istrinya sebagai bentuk penghargaan dan pemberian wajib dalam pernikahan. Mahar tersebut adalah hak penuh calon istri, dan tidak boleh ada pihak lain, termasuk suami, yang mengambilnya tanpa kerelaan istri. Dan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi, Rasulullah SAW memberikan contoh mengenai mahar, di mana seorang laki-laki yang ingin menikah namun tidak memiliki apa-apa, diizinkan oleh Rasulullah untuk memberikan mahar dalam bentuk hafalan surat-surat Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa mahar bisa disesuaikan dengan kemampuan pihak laki-laki, namun tetap harus diberikan. Dengan adanya dasar dari Al-Qur'an dan hadits, mahar menjadi kewajiban suami dalam pernikahan, dan tidak ada ketentuan khusus mengenai jeda waktu antara lamaran dan akad nikah, kecuali demi alasan teknis tertentu.
Ada beberapa hikmah dari pelaksanaan khitbah dan pemberian mahar dalam Islam diantaranya, yaitu: a. pentingnya mahar dalam Islam, Mahar disyariatkan oleh Allah SWT untuk meningkatkan derajat perempuan dan menegaskan bahwa proses setelah khitbah memiliki kedudukan tinggi, b. pemberian mahar kepada perempuan adalah kewajiban laki-laki karena laki-laki dianggap lebih mampu secara finansial. Mahar merupakan tanggung jawab laki-laki dan bagian dari materi yang akan dikelola oleh perempuan setelah menikah, c. peran mahar dalam kehidupan rumah tangga, pemberian mahar oleh laki-laki juga menunjukkan tanggung jawabnya dalam kehidupan rumah tangga, di mana laki-laki sebagai pemimpin diharapkan memberikan nafkah dan dukungan. mahar mencerminkan niat baik dan penghormatan kepada perempuan, serta menggantikan praktik tradisi Jahiliyah yang merendahkan martabat perempuan.
Adapun hikmah dan fungsi mahar yaitu: a. mahar adalah simbol penghargaan dan saling menghargai antara suami dan istri. Ini menegaskan hak penuh perempuan atas mahar yang diterima, yang dapat digunakannya sesuai keinginan, termasuk untuk bershadaqah, b. mahar tidak harus menjadi beban atau kesulitan dalam pernikahan. Meski bukan syarat sah akad nikah, mahar adalah bagian penting yang melambangkan komitmen dan penghargaan. Dengan demikian, mahar dalam Islam berfungsi sebagai bentuk penghormatan dan tanggung jawab laki-laki, serta mencerminkan perubahan dari tradisi yang merugikan perempuan pada masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Ghozali ,Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 73-74. Abdullah, Ahmad Zawawi, Panduan Merancang Keluarga Bahagia, (Kuala Lumpur: Utusan Publications dan Distributors Sdn Bhd), h. 3.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h.62, 63, 65
Al-Imam Al-Syirazi, Al-Tanbih, (Damsyiq : Al-Kalam, 1994), h. 429
Al-Qur'an S. An-Nisa': 4, h
Abdil Aziz M, dkk, Fikih Munakahat Khitbah Nikah dan Talak (Jakarta : Amzah, t.t.), hal. 177.
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Di Indonesia Edisi Revisi,Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013, hal. 87.
Nur, Djaman, Fiqh munakahat, Semarang: Toha putra semarang, 1993, h. 13 Utsman, Abdurahman Muhammad, 'Aunul Ma'bud, Beirut : Dar Al-Fikr, s. a, Cetakan Ke-1, No. 1781
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih An-Nasai’i, Jakarta : Pustaka Azzam Anggota IKAPI DKI, Cetakan Ke-1, No. 3202, 3199
Mubarakfuri, Abu Alula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi, Jakarta : Pustaka Azzam, 2008, Cetakan ke-1, No. 4696
Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari', Jakarta : Pustaka Iman, 2018, Cetakan ke-3, No. 4732, 5856
Al-Nawawi, Imam, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Daarul Hadiits-Kairo, Cetakan Pertama, No. 2661
Ibnu Rusyd, Binayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid II, Beirut: Darul Fikri, h. 3 Imam Hafiz Al-Mushannif, Al-Muttaqin Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Daar Ibn Hazm), Jilid II, h. 480.
Afianti, Iva, Selubung Cinta Di Mudhalifah, (Bandung: Mizania, 2009), h. 128 Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : PT. Bulan Bintang, Cet. III. h. 33
Muhammad Bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Juz 1, 1971, h. 174
Hambali, Muh, Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari Dari Kandungan Hingga Kematian, Yogyakarta: Laksana, hal. 403-409
Tidak ada komentar:
Posting Komentar