Minggu, 17 November 2024

Khitbah dan Mahar Perspektif Hadist Rasululloh SAW

PENDAHULUAN 

Latar Belakang 

Khitbah merupakan suatu tahapan yang biasa dilakukan sebelum  melangsungkan akad dalam pernikahan. Dalam ajaran islam khitbah dilakukan oleh  seorang laki-laki kepada perempuan pilihannya sebelum dijadikan istri. Para laki-laki  tersebut melakukan khitbah untuk mengenal empat kriteria perempuan yang  dipilihnya yaitu, hartanya, keturunannya, nasabnya dan agamanya. 

Di dalam rangkaian khitbah terdapat pemberian yang diberikan oleh pihak  laki-laki kepada pihak perempuan sebagai tanda keseriusannya dalam proses khitbah  dan proses yang akan berlanjut setelah khitbah.Pemberian tersebut biasa disebut  dengan mahar. Dalam hal ini agama islam sangatlah memperhatikan dan menghargai  kedudukan perempuan karena mahar sebagai bentuk balasan atau tanda terimakasih  kepada seorang perempuan yang telah rela untuk di khitbah o;eh seorang laki-laki. pemberian mahar dalam islam diwajibkan berdasarkan dalil al-Qur‟an dan sunnah. 

Pelaksanaan khitbah dan pemberian mahar telah diatur dengan sedemikian  seksama dalam al-Qur‟an dan hadist Nabi Muhammad SAW. Seperti halnya syarat,  anjuran serta larangan yang ada dalam pelaksanaan khitbah dan pemberian mahar.  Maka dari itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk membahas lebih mendalam  mengenai khitbah dan mahar. 


PEMBAHASAN 

Pengertian Khitbah Dan Landasan Hukum Khitbas 


a. Pengertian khitbah 

Kata “peminangan” Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang, meminang”  (kata kerja). Sinonim kata “meminang” adalah melamar, yang dalam bahasa Arab  disebut “khitbah”. Sedangakan secara terminologi, peminangan adalah permintaan  seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istrinya, dengan cara  yang umum dan berlaku di tengah-tengah masyarakat.1 Dengan melakukan khitbah  seorang laki-laki dapat mengenal empat kriteria calon istrinya,2seperti diisyaratkat  sabda Rasululloh SAW: 

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَربَتْ يَدَاكَ

"Telah menceritakan kepada kami [Zuhair bin Harb], [Muhammad bin Al Mutsanna]  dan ['Ubaidullah bin Sa'id] mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami [Yahya  bin Sa'id] dari ['Ubaidillah] telah mengabarkan kepadaku [Sa'id bin Abu Sa'id] dari  [ayahnya] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Seorang wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya,  kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu  beruntung." 3 

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dan diriwayatkan  oleh para penulis Sunan. Artinya, masyarakat biasanya mendambakan seorang wanita  dan memilihnya karena salah satu kualitasnya: kecantikan, uang, garis keturunan, dan  agama. Sudah selayaknya orang-orang ksatria dan pemuka agama menjadikan agama  sebagai cita-cita pertimbangan mereka datang dan tinggalkan, terutama pada apa yang  permanen dan yang bahayanya besar. 

Dalam kompilasi hukum islam pasal 1 bab 1 memberi pengertian bahwa yang  dimaksud khitbah (peminangan) ialah kegiatan-kegiatan upaya kearah terjadinya  hubungan perjodohan antara pria dengan seorang wanita.4 

Sedangkan dalam ilmu fiqh khitbah (peminangan) ialah pernyataan atau  permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya, baik  dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung atau dengan perantara pihak yang  dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.5 

1Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 73-74.

2Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h.62-63 

3HR. Shahih Muslim No. 2661 

4Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2008, h. 1

5Djaman Nur, Fiqh munakahat, Semarang: Toha putra semarang, 1993, h. 13. 

b. Landasan Hukum Khitbah 

Dasar peminangan inilah mengapa Rasulullah Saw, dalam sebuah haditsnya ia  mengatakan bahwa setiap laki-laki untuk melakukan peminangan. Hal ini dipandang  menjadi dasar peminangan, dikarenakan kedua mempelai akan mengikatkan diri  dalam sebuah perkawinan dan membentuk sebuah keluarga. Seorang laki-laki boleh  melamar secara terus terang atau tashrih, secara sindirian atau ta‟ridh kepada wanita  yang berstatus sendiri (single), baik yang masih perawan maupun janda yang sudah  habis masa iddahnya. Sedangkan kepada janda yang masih dalam masa iddah, maka  dia hanya boleh mengungkapkan rasa cintanya secara kiasan, dan jika selesai masa  iddahnya, maka dia boleh melamarnya secara terus terang. 

Adapun dasar nash Al-qur‟an tentang khitbah atau lamaran adalah Q. S Al Baqarah (2) ayat 235 

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَربَتْ يَدَاكَ

Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan  sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa  kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat  perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar  mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah,  sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada  dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha  Pengampun, Maha Penyantun”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 235) 

Dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang  mewajibakannya, berarti hukumnya mubah.6 Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil  pendapat Imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib.  Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadits-hadits nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi  dalam peminangan itu.7 

Pinangan atau lamaran seorang laki-laki kepada seorang perempuan boleh  dengan ucapan langsung maupun secara tertulis. Meminang perempuan sebaiknya  dengan sindiran. dalam meminang dapat dilakukan dengan tanpa melihat wajahnya,  juga dapat melihat wanita yang dipinangnya. Sedangkan dalam hadis di jelaskan  bahwa: 

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ»، قَالَ : فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; Rasulullah saw. Bersabda: “Apabila salah  seorang di antara kalian meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat  sesuatu yang memotivasinya untuk menikahinya hendaknya ia melakukannya.” Jabir  berkata; kemudian aku meminang seorang gadis dan aku bersembunyi untuk  melihatnya hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya,  lalu aku pun menikahinya. (HR. Abu Daud). 

Hadits tersebut menunjukkan keutamaan memandang wanita yang ingin  dinikahinya, dan diperbolehkan melihat wajah dan tangannya, karena itu  menunjukkan kecantikan atau kebalikannya dengan wajah, dan dengan tangan  kesuburan tubuh. Atau kekurangannya, dan ini adalah doktrin sebagian besar, dan itu  bukan syarat bahwa wanita itu puas dengan penampilan itu, melainkan dia boleh  melakukannya karena kelalaiannya, dan tanpa memberi tahu dia, sebagai sahabat  Jabir, semoga Tuhan Jika dia tidak dapat melihat, maka sebaiknya dia mengutus  seorang wanita yang dia percayai untuk menemuinya dan memberitahunya dalam  kapasitasnya. Hal ini hanya diperbolehkan, karena itu lebih baik dan dia ingin  mendamaikan mereka, sebab jika pernikahan mereka setelah berkenalan sering kali  tidak ada penyesalan setelahnya. 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ. وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

Dari Ibn Umar ra, dia berkata: Nabi saw telah melarang sebagian kalian untuk  berjual beli atas jual beli sebagian yang lain. Dan janganlah seseorang melamar (seorang wanita) atas lamaran saudaranya hingga pelamar pertama meninggalkannya  atau memberi izin kepadanya. 

Hadits tersebut Tidak diperbolehkan untuk melamar wanita yang sudah  dipinang oleh laki-laki lain dalam Islam. Hingga ikatan mereka lepas – misalnya  dengan keputusan mereka untuk membatalkan pernikahan mereka, atau dengan izin  laki-laki yang melamar wanita itu lebih dulu. 

6Imam Hafiz Al-Mushannif, Al-Muttaqin Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Daar Ibn Hazm), Jilid  II, h. 480.

7Ibnu Rusyd, Binayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid II, (Beirut: Darul Fikri), h. 3.


B. Syarat-Syarat Khitbah 

Para Ulama fikih mensyaratkan bagi-laki-laki yang akan mengkhitbah wanita  pilihannya hendaknya memperhatikan dua syarat ini: 

a) Syarat Mustahsinah 

Syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang hendak meminang seorang  wanita agar ia meneliti terlebih dahulu seorang wanita yang akan dipinangnya,  sehingga ia dapat menjamin kelangsungan hidup ketika berumah tangga nantinya.  Syarat Mustahsinah adalah: 

1) Wanita yang akan dipinang itu hendaklah sejodoh (sekufu‟) dengan laki-laki  yang meminangnya, seperti sama kedudukannya dalam masyarakat, sama sama baik bentuknya, sama dalam tingkat kekayaan, sama-sama berilmu dan  lain sebagainya. 

2) Wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan wanita peranak. 

3) Wanita yang akan dipinang hendaklah wanita yang tidak memiliki hubungan  darah dengan pria yang meminangnya. Dalam surat An-nisa‟ ayat 23 telah  dijelaskan tentang larangan pernikahan sedarah yang berbunyi: 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوتُكُمْ وَعَمَّتُكُمْ وَخُلْتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَتُكُمُ الَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوتُكُم مِّنَ الرَّضَعَةِ وَأُمَّهَتْ نِسَائِكُمْ وَرَبَّيْبُكُمُ الَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ الَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَّيْلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلُّبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang  perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu  yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak  perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan  dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;  saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak  isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,  tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu  ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan  bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada  masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha  Penyayang.”(Q.S. An-Nisa‟ ayat 23) 

4) Hendaknya mengetahui keaadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari  wanita dipinang. Sebaliknya wanita yang dipinang harus mengetahui pula  keadaan yang meminangnya.8 

Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi sebelum  peminangan dilakukan, akan tetapi hanya sebagai anjuran dan kebiasaan baik saja.  Tanpa terpenuhinya syarat-syarat ini peminangan tetap sah. 

b) Syarat Lazimah 

Syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sahnya  peminangan tergantung kepada adanya syarat lzimah, yaitu: 

1) Wanita yang dipinang bukan istri orang lain dan tidak dalam pinangan laki-laki  atau sedang dipinang laki-laki lain. Diperbolehkan meminang wanita tersebut  jika laki tersebut telah melepaskan hak pinangnya.9 

Berdasarkan hadist nabi SAW: 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ السَّرْحِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ

"Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin 'Amr bin As Sarh], telah  menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Az Zuhri] dari [Sa'id bin Al  Musayyab] dari [Abu Hurairah], ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi  wasallam bersabda: "Tidak boleh seorang laki-laki meminang pinangan  saudaranya."10 

2) Wanita yang dipinang tidak dalam masa 'iddah talak raj'i, karena yang lebih  berhak menikahinya adalah mantan suaminya.11 Haram hukumnya meminang  wanita dalam masa 'iddah talak raj'i. Bekas suaminya boleh merujuknya kapan  saja ia kehendaki dalam masa iddah itu. Hal ini sesuai dengan firman Allah  

SWT: 

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذُلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلُحًا

”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika  mereka (para suami) menghendaki ishlah.”12 (Al-Baqarah:228) 

3) Perempuan yang akan dipinang hendaklah yang boleh dinikahi. Artinya,  perempuan tersebut bukan mahram bagi laki-laki yang akan meminangnya.  

8 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, Cet. III). h. 33. 9Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h. 65. 10 HR. Abu Daud. No. 1781 

11 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, Cet. III). h. 33.  

C. Aturan-Aturan Dalam Khitbah Perspektif Hadist Nabi Muhammad SAW. Agama islam ialah agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, dimana  

agama islam sudah menyediakan perangkat aturan dan etika, termasuk dalam hal  khitbah (melamar atau meminang) wanita untuk dijadilkan istri. Dalam hal ini, beliau  sudah memberikan panduan cara meng-khitbah dan rangkaian proses pernikahan  kepada kita. Maka dari itu kami akan memberikan beberapa hadist Nabi SAW yang  memiliki keterkaitan dengan prosesi khitbah. 

1. Hadits-hadits tentang melamar 

a. Melamar Sendiri Sang Gadis Pujaan 

Jika para laki-laki sudah memiliki calon yang akan ia khitbah dan merasa  cocok, maka diperbolehkan baginya melamar wanita tersebut sendiri tanpa  ditemani oleh siapapun. Hal tersebut diperbolehkan dalam agama islam.13 

b. Melamar Kepada Wali Atau Orang Tuanya 

Cara kedua bagi laki-laki apabila hendak melamar wanita adalah dengan  cara mendatangi langsung rumahnya lalu menemui orang tuanya. Cara ini  dilakukan di masyarakat hingga saat ini. Dalam sebuah hadist dari Aisyah,  Rasululloh SAW. Bersabda: 

“Bahwa Aisyah istri Nabi Saw telah mengabarkan kepadanya bahwa;  Sesungguhnya pada masa jahiliah ada empat macam bentuk pernikahan.  Pertama, adalah pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat  sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita,  kemudian memberikannya mahar lalu menikahinya”. (HR. Bukhari)14 

13 Ahmad Zawawi Abdullah, Panduan Merancang Keluarga Bahagia, (Kuala Lumpur: Utusan Publications dan  Distributors Sdn Bhd), h. 3. 

14 HR.Bukhori.no.4732

c. Melamar Melalui Wakil Atau Pemuka Masyarakat 

Pihak laki-laki boleh juga meng-khitbah wanita melalui pemuka  masyarakat, guru ngaji atau tokoh agama. Cara ini banyak dilakukan oleh  masyarakat saat ini, atau bahkan mungkin menjadi cara yang paling banyak  dilakukan apabila pihak laki-laki yang melamar tersebut bukan dari golongan tokoh terpandang, sehingga dirasa perlu menggunakan wakil atau perantara dalam  lamaran. 

Rasululloh SAW bersabda: 

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ حَدَّثَنِي ابْنُ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ لَمَّا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بَعَثَ إِلَيْهَا أَبُو بَكْرٍ يَخْطُبُهَا عَلَيْهِ فَلَمْ تَزَوَّجْهُ فَبَعَثَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَخْطُبُهَا عَلَيْهِ فَقَالَتْ أَخْبِرْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي امْرَأَةٌ غَيْرَى وَأَنِّي امْرَأَةٌ مُصْبِيَةٌ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي شَاهِدٌ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَيْهَا فَقُلْ لَهَا أَمَّا قَوْلُكِ إِنِّي امْرَأَةٌ غَيْرَى فَسَأَدْعُو اللَّهَ لَكِ فَيُذْهِبُ غَيْرَتَكِ وَأَمَّا قَوْلُكِ إِنِّي امْرَأَةٌ مُصْبِيَةٌ فَسَتُكْفَيْنَ صِبْيَانَكِ وَأَمَّا قَوْلُكِ أَنْ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي شَاهِدٌ فَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِكِ شَاهِدٌ وَلَا غَائِبٌ يَكْرَهُ ذَلِكَ فَقَالَتْ لِابْنِهَا يَا عُمَرُ قُمْ فَزَوِّجُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَزَوَّجَهُ مُخْتَصَرٌ

"Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim], ia  berkata; telah menceritakan kepada kami [Yazid] dari [Hammad bin Salamah] dari  [Tsabit Al Bunani] telah menceritakan kepadaku [Ibnu Umar bin Abi Salamah]  dari [ayahnya] dari [Ummu Salamah], tatkala 'iddahnya selesai, Abu Bakr  mengirim utusan kepadanya untuk melamarnya, hanya ia enggan. Kemudian  Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Umar bin Al Khathab untuk  melamarnya, dan ia berkata; Tolong beritahu Rasulullah shallallahu 'alaihi  wasallam kalau saya wanita pencemburu, banyak anak, serta tidak ada seorang  waliku yang menyaksikan. Kemudian Umar datang kepada Rasulullah shallallahu  'alaihi wasallam menyampaikan persoalannya. Lalu beliau bersabda: "Kembalilah  kepadanya dan katakan; adapun perkataanmu, 'Saya wanita pencemburu, saya  akan berdoa kepada Allah sehingga Dia menghilangkan rasa cemburumu, Adapun  perkataanmu 'Saya wanita yang banyak anak' maka akan dicukupkan bagimu  anak-anakmu, adapun perkataanmu bahwa tidak ada seorangpun waliku yang  menyaksikan, Ketahuilah bahwa tidak ada seorangpun walimu yang menyaksikan  atau tidak, lantas membenci pernikahan ini tersebut." Maka Ummu Salamah  berkata; "Wahai Umar, berdirilah dan nikahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi  wasallam." Kemudian ia menikahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. (HR. An-Nasa‟i)15 

d. Wanita Boleh Menawarkan Diri Kepada Laki-Laki Yang Shalih 

Seorang laki-laki diperbolehkan untuk melamar wanita yang ia pilih, maka  seorang wanita juga di perbolehkan untuk menawarkan diri untuk dinikahi. 

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا مَرْحُومٌ سَمِعْتُ ثَابِتًا أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْرِضُ عَلَيْهِ نَفْسَهَا فَقَالَتْ هَلْ لَكَ حَاجَةٌ فِيَّ فَقَالَتْ ابْنَتُهُ مَا أَقَلَّ حَيَاءَهَا فَقَالَ هِيَ خَيْرٌ مِنْكِ عَرَضَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسَهَا

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] telah menceritakan  kepada kami [Marhum] saya mendengar [Tsabit] bahwa dia mendengar [Anas]  radliallahu 'anhu berkata; "Seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi  wasallam menawarkan dirinya, katanya; "Apakah engkau membutuhkanku?"  maka anak perempuan (Anas bin Malik) berkata; "Alangkah sedikit malunya  perempuan itu." Anas bin Malik berkata; "Ia lebih baik darimu, dia tawarkan  dirinya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."16 

15 HR. An-Nasai’I, no.3202

16 HR. Sahih Bukhori.no.5856

e. Melihat Wanita Yang Hendak Di Lamar 

Setiap laki-laki yang melamar wanita diperbolehkan melihat wajah wanita  yang hendak di lamar dan wali juga harus memperlihatkan anak gadisnya terhadap  laki-laki yang ingin melihat dahulu rupa dan raut wajah wanita tersebut. 

f. Melaksanakan Shalat Istikharah 

Seorang laki-laki yang melamar akan mengalami keraguan dan  kebimbangan dalam hati ketika memutuskan untuk menikah, ada baiknya sebelum  melamar atau menentukan calon jodoh dianjurkan untuk melaksanakan shalat  istikharah terlebih dahulu. Rasululloh SAW bersabda: 

أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمَّا انْقَضَتْ عِدَّةُ زَيْنَبَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِزَيْدٍ اذْكُرْهَا عَلَيَّ قَالَ زَيْدٌ فَانْطَلَقْتُ فَقُلْتُ يَا زَيْنَبُ أَبْشِرِي أَرْسَلَنِي إِلَيْكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُكِ فَقَالَتْ مَا أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتَّى أَسْتَأْمِرَ رَبِّي فَقَامَتْ إِلَى مَسْجِدِهَا وَنَزَلَ الْقُرْآنُ وَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ بِغَيْرِ أَمْرِ

Telah mengkhabarkan kepada kami [Suwaid bin Nashr], ia berkata; telah  memberitakan kepada kami [Abdullah], ia berkata; telah menceritakan kepada  kami [Sulaiman bin Al Mughirah] dari [Tsabit] dari [Anas], ia berkata; tatkala  telah habis 'iddah Zainab, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada  Zaid: "Sebutkan saya kepadanya." Zaid berkata; kemudian saya pergi dan berkata;  wahai Zainab, bergembiralah. Saya diutus Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  kepadamu, beliau menyebut dirimu. Kemudian ia berkata; saya tidak dapat  berbuat sesuatupun hingga meminta petunjuk kepada Tuhanku. Kemudian ia beranjak menuju Masjidnya dan turunlah Al Qur'an. Dan Rasulullah shallallahu  'alaihi wasallam datang kemudian masuk tanpa perintah.17 

2. Larangan dan Pantangan Saat Melamar 

Adapun larangan dan pantangan saat melamar wanita adalah sebagai berikut: a. Melamar wanita yang sudah dilamar laki-laki lain. 

b. Melakukan khalwat saat khitbah dan sesudahnya. 

“Dari Ibnu Abbas Radhiallahu'anhuma bahwa dia mendengar Nabibersabda  Saw, Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan  seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali  bersama mahramnya”. (HR. Bukhari)18 

c. Terlalu besar maharnya. 

“Dari Aisyah dari Nabi Saw bersabda, "Wanita yang paling besarberkahnya  adalah yang paling ringan maharnya”. (HR. Ahmad) 

d. Wali menerima lamaran tanpa persetujuan dari si wanita. 

Dalam kitab Al-Tanbih dijelaskan bahwa: 

“Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib bagi wali  untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis maka boleh bagi ayah  atau kakek menikahkannya dengan tanpapersetujuannya. Dan disunnahkan  meminta persetujuan gadis tersebut apabila ia telah baligh, dan izinnya adalah  diam. Apabila wanita itu janda, baligh, berakal maka seseorang tidak boleh  menikahkannya kecuali atas persetujuannya, dan izinnya adalah dengan  ucapan. Apabila wanita itu gila, masih kecil, maka bagi ayah atau kakek boleh  menikahkannya, dan apabila telah dewasa, ayah, kakek, dan hakim juga boleh  menikahkannya”.19 

e. Berbusana secara berlebihan. 

يُبَنِيَ ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوَا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap  (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh,  Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-A‟raf: Ayat 31) 

f. Membatalkan lamaran secara tiba-tiba tanpa ada alasan yang jelas. Pembatalan  tersebut berarti hilangnya janji setia di antara kedua belah pihak.

g. Memberikan hadiah kepada wanita yang dilamarnya. 

Agama islam memperbolehkan Seorang laki-laki memberikan hadiah kepada  wanita yang dilamarnya sebagai tenda keseriusannya terhadap wanita yang  dilamarnya.20 Akan tetapi agama Islam tidak mewajibkan memberi hadiah  saat melamar kecuali (mahar) begitupun agama tidak melarangnya. 

17HR.An-Nasa’i.no.3199. 

18 Muhammad Bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Juz 1, 1971), h. 174.

19 Al-Imam Al-Syirazi, Al-Tanbih, (Damsyiq: Al-Kalam, 1994), h. 429.

20 Iva Afianti, Selubung Cinta Di Mudhalifah, (Bandung: Mizania, 2009), h. 128.

D. Pengertian Mahar dan Syarat Mahar 

a. Pengertian Mahar 

Secara bahasa, mahar صداق artinya Maskawin. Dan di dalam Kamus  Kontemporer Arab Indonesia, mahar atau maskawin disamakan shaduqat dari  Rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata Shadaqah yang terkenal.  Dalam maknanya terkandung Perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya harta yang  Diberikan dengan putih hati, hati suci, muka jernih Kepada mempelai perempuan  ketika akan menikah. Arti yang mendalam dari makna mahar itu ialah laksana Cap  atau stempel, bahwa nikah itu telah dimateraikan. Mahar (maskawin) secara  terminologi menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar adalah harta yang diberikan  kepada Perempuan dari seorang laki-laki ketika menikah atau bersetubuh (wathi‟).  Menurut Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani,  mendefinisikan mahar atau Shadaq ialah sejumlah harta yang wajib diberikan  karena Nikah atau wathi‟ (persetubuhan). Maskawin dinamakan Shadaq karena di  dalamnya terkandung pengertian Sebagai ungkapan kejujuran minat pemberinya  dalam Melakukan pernikahan. Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan,  bahwa mahar itu adalah: 

اسم للمال الَّذِي يَجِبُ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ عَلَى الزَّوْجِ في مقابلة البضع يقع

“Harta yang diwajibkan atas suami ketika Berlangsungnya akad nikah sebagai  imbalan dari Kenikmatan seksual yang diterimanya”. 

Mahar sendiri secara etimologi memiliki arti maskawain. Dalam istilah  Indonesia biasa dikenal dengan maskawin namun dalam al-Qur‟an dikenal dengan  beberapa istilah: 

a) Ujr jamak dari kata ajrum yang artinya hadiah atau ganjaran. 

b) Saduqot jamak dari kata saduqoh yang artinya pemberian yang ditulis. 

c) Faridah yang artinya sesuatu yang di wajibkan atau sesuatu yang di tetapkan Pemberian mahar adalah salah satu yang di syariatkan oleh ajaran agama  

islam. Mahar diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sama halnya dengan seperti lamaran yang mana diberikan oleh pihak laki-laki kepada  pihak perempuan untuk dipinang dan meminta izin kepada orang tua nya untuk  menikahinya. Maka dari itu mahar juga salah satu bentuk bukti ketulusan hati. 

Mahar bukan hanya sejumlah uang,harta atau barang yang lainnya namun  juga bentuk keseriusan seorang laki-laki maka dari itu mahar juga dinamai dengan  shidaq [kebenaran]. Namun bukan berarti wanita tidak menjual dirinya dengan mahar. Dengan adanya mahar dapat menciptakan sarana bagi wanita juga untuk  menunaikan kewajibannya. 

b. Syarat Mahar 

Para ahli fiqih menetapkan beberapa syarat mahar yang akan diberikan  laki-laki kepada perempuan yang di khitbahnya yaitu: 

a) Dari benda halal yang suci. 

Barang harus terhindar dari unsur haram karena mahar boleh untuk  diperjualbelikan lagi atau dimanfaatkan semestinya. 

b) Hendaknya mahar diberikan dalam bentuk benda yang bermanfaat dan ada  harganya. 

Selain benda-benda yang haram, mahar juga tidak diperbolehkan dalam bentuk benda yang kurang bermanfaat atau tidak ada harganya seperti  sampah/biji-bijian/buah-buahan yang busuk yang sudah tidak layak  dikonsumsi. Dalam hal ini telah dijelaskan dalam kitab al-fiqhu ala madzahabi  al-arba‟a yang artinya, mahar adalah sesuatu harta benda yang mempunyai  harga, maka tidak sah mahar dengan harga yang murah yang tidak mempunyai  nilai seperti biji-bijian gandum. 

c) Benda yang dimiliki. 

Maksud dari benda yang dimiliki ialah benda yang diserahkan kepada  perempuan dan bisa disimpan dengan demikian mahar tidak boleh seperti  burung yang terbang diudara atau ikan dilaut yang belum menjadi miliknya. 

E. Landasan Hukum Mahar 

Sedangkan para ulama fiqih sepakat bahwa dasar hukum mahar adalah wajib.  Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisa‟ ayat 4: 

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai  pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada  kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(An-Nisa‟ ayat  4)21 

Dalam ayat tersebut dapat dilihat bahwa allah telah memerintahkan pada  suami untuk membayar mahar pada istrinya karena hal tersebut adalah wajib. Dalam  hal ini dapat dilihat bahwa islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan  seorang Wanita dengan memberikan hak kepadanya. Diantaranya yaitu memberikan  hak untuk menerima maskawin, dan mahar hanya boleh di berikan kepada calon istri  nya saja, meskipun sangat dekat hubungan dengannya orang lain tidak boleh ikut  campur apalagi sampai menggunakan mahar itu bahkan suaminya sendiri kecuali sang  istri memberikan nya dengan ridho atau kerelaan dari dirinya sendiri. 

Selain dalam al-Qur‟an hukum mahar juga dijelaskan dalam hadist Rasululloh  SAW riwayat At-Tirmidzi: 

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدِ السَّاعِدِى أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ، فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيلاً فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَوِّحْنِيهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بهَا حَاجَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقهَا إِيَّاهُ ». فَقَالَ مَا عِنْدِي إِلَّا إِزارِي هذا . فقالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « إِنَّكَ إِنْ أَعْطَيْتَهَا إِزَارَكَ جَلَسْتَ وَلَا إِزَارَ لَكَ فَالْتَمِسُ شَيْئًا ». قَالَ لا أَجِدُ شَيْئًا قَالَ « فَالْتَمِسُ وَلَوْ خَالَمًا مِنْ فَالْتَمسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم « فَهَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْءٍ ». قَالَ نَعَمْ سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا لِسُوَرٍ سَمَّاهَا. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم « قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَ حَدِيدٍ ».

“Dari Sahl bin Sa'idi, sesungguhnya Rasulallah SAW kedatangan tamu seorang  wanita yang mengatakan: "Ya Rasulallah, sesungguhnya aku serahkan diriku  kepadamu". Lalu wanita itu berdiri cukup lama sekali. Kemudian tampil seorang laki laki dan berkata: "Ya Rasulallah SAW nikahlah aku dengannya jika memang engkau  tidak ada minat kepadanya". Rasulallah SAW lalu bertanya: Apakah kamu  mempunyai sesuatu yang bisa diberikan sebagai maskawin kepadanya?" Lali-laki itu  menjawab "Saya tidak membpuyai apa-apa kecuali kain sarung yang saya pakai ini".  Nabi berkata lagi: "Jika sarung tersebut engkau berikan kepdanya, maka engkau akan  duduk desgan tidak mengenakan kain sarung lagi. Kerena itu carilah yang lain". Lalu  ia mencari tidak mendapatkan sesuatu. Nabi bersabda lagi kepadanya: "Carilah  meskipun hanya sebentuk cincin dari besi". Lelaki itu pun mencoba menyarinya  namun tidak mendapatkan apa- apa. Lalu rasulallah SAW bertanya lagi kepada laki laki tadi: "Apakah kamu hafal sedikit saja dari ayat-ayat Al-Qur'an", Lelaki tadi  menjawab: "Tentu saja, aku hafal surah ini dan surah ini". Ada beberapa surat yang ia sebutkan lalu Rasulallah SAW bersabda kepadanya: "Kalau begitu aku tukalikan  kamu dengannya dengan maskawin surat Al-Qur'an yang kamu hafal”22 Mahar sebagai sebuah kewajiban dalam perkawinan Islam, maka  kehadirannya tentu memiliki landasan Hukum yang menjadi dasar yang kuat sebagai  pegangan Calon suami sebagai pihak yang mempunyai kewajiban Membayar mahar  kepada calon istri. Adapun dasar Hukum diwajibkannya mahar adalah sebagai  berikut: 

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدَقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْشَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)  sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan  kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah  (ambillah) pemberian itu (sebagat makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. Maksud  dari ayat diatas adalah berikanlah mahar kepada istri sebagai pemberian wajib, bukan  pemberian atau ganti rugi. 

Ada pendapat yang menyatakan bahwa harus terdapat jeda waktu antara  lamaran dan pernikahan yang ditentukan, dalam hal ini tidak ditemukan dalil yang  sharih tentang keharusan adanya jarak waktu antara khitbah dan akad nikah, baik  sebulan, dua bulan atau berapa lamapun. Kalau pun jarak dibutuhkan jarak waktu  yang cukup lama, mungkin untuk mempertimbangkan masalah teknisi saja.23 

21 Al-Qur'an Surat An-Nisa': 4, h. 

22 HR.At-Tirmidzi.no.4696 

23 Muh. Hambali, Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari Dari Kandungan Hingga Kematian, (Yogyakarta: Laksana),  hal. 403-409.

F. Korelasi Hikmah Antara Pelaksanaan Khitbah dan Pemberian Mahar Dalam  Islam 

Disyariatkannya mahar oleh Allah SWT untuk mengangkat derajat perempuan  dan memberikannya penjelasan bahwa prosesi setelah khitbah atau akad pernikahan  mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkan  pemberian mahar kepada laki-laki bukan kepada perempuan, karena laki-laki lebih  mampu berusaha. Diwajibkannya pemberian mahar seperti halnya seluruh materi  perempuan yang dikhitbahnya yang akan menjadi tanggung jawab laki-laki tersebut. Seorang perempuan pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan  segala perlengkapan yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya  kembali kepada laki-laki juga. 

Oleh karena itu, merupakan suatu relevan seorang laki-lakii dibebani mahar  untuk diberikan kepada seorang perempuan.24 Apabila praktik yang berlaku di  sebagian masyarakat, bahwa calon mempelai laki-laki pada saat khitbah telah  memberikan sejumlah pemberian, demikian itu dilakukan semata-mata sebagai  kebiasaan yang dianggap baik sebagai tanda cinta pihak laki-laki kepada perempuan  pilihannya.25 

Hikmah disyariatkannya mahar adalah menunjukan bahwa tanggung jawab  laki-laki dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah kepada  perempuani, karena laki-laki adalah pemimpin atas perempuan dalam kehidupan  rumah tangganya. Islam mensyariatkan mahar bagi laki-laki kepada  perempuansebagai tanda kebaikan niat suci, dan penghormatan bagi dirinya,  pengganti aturan atau Tradisi Jahiliyah yang berlaku sebelum datang Islam. Saat itu  perempuan datang dipandang rendah dan hina. Bahkan tak jarang, hak perempuan di  injakinjak dan dirampas oleh suaminya. Padahal mahar adalah milik hak penuh bagi  istri yang tidak dapat diganggu gugat meskipun oleh walinya.  

Perempuan mempunyai kebebasan dan wewenang penuh atas hartanya ini  untuk membelanjakan atau bershadaqah sesuka hatinya, jadi mahar dalam Islam  adalah lambang saling menghargai antara suami istri, suami memberi dan istri  menerima penghargaan itu. Namun berarti mahar menjadi sesuatu yang menyulitkan  sebab mahar bukanlah suatu syarat dan rukun dalam akad perkawinan melainkan  hanya salah satu hukum dan akibat dari akad nikah, oleh karena itu penyebutan mahar  pada saat nikah bukan suatu yang wajib, bahkan suatu akad nikah yang dianggap sah.


24 Abdil Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fikih Munakahat Khitbah Nikah dan Talak  (Jakarta: Amzah, t.t.), hal. 177. 

25 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Di Indonesia Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 87.


 

PENUTUP 

A. Kesimpulan 

Kata "peminangan" berasal dari kata "pinang, meminang," yang sinonimnya adalah  "melamar," dan dalam bahasa Arab disebut "khitbah." Secara terminologi, peminangan  adalah permintaan seorang laki-laki kepada perempuan untuk dijadikan istrinya, sesuai  adat yang berlaku di masyarakat. Melalui khitbah, seorang laki-laki dapat mengenal calon  istri berdasarkan empat kriteria yang disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW, yaitu  harta, keturunan, kecantikan, dan agama, dengan penekanan untuk memilih karena  agama. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, serta penulis Sunan  lainnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (Pasal 1, Bab 1), khitbah didefinisikan sebagai  kegiatan yang bertujuan menuju perjodohan antara pria dan wanita. Dalam ilmu fiqh,  khitbah adalah pernyataan atau permintaan menikah yang bisa dilakukan secara langsung  oleh pria atau melalui perantara sesuai ketentuan agama. 

Peminangan (khitbah) dalam Islam dianjurkan sebagai langkah awal sebelum  pernikahan, dimana seorang laki-laki bisa melamar perempuan secara langsung atau  dengan sindiran, sesuai status perempuan tersebut, apakah dia masih perawan, janda yang  sudah selesai masa iddah, atau masih dalam masa iddah. Dasar hukum peminangan  diambil dari Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah ayat 235, yang membolehkan laki-laki untuk  melamar dengan sindiran atau menyimpan keinginan dalam hati, namun akad nikah tidak  boleh dilangsungkan sebelum masa iddah selesai. Ulama sepakat bahwa peminangan  hukumnya mubah (diperbolehkan), meskipun Imam Daud Al-Zhahiriy berpendapat  bahwa pinangan adalah wajib berdasarkan tradisi Nabi. Pinangan dapat dilakukan secara  langsung maupun tertulis, dan laki-laki diperbolehkan untuk melihat calon istri sebelum  menikah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Jabir bin Abdullah. Hal ini dimaksudkan  untuk memberikan keyakinan dalam memilih pasangan. Selain itu, tidak diperbolehkan  melamar wanita yang sudah dipinang oleh laki-laki lain kecuali lamaran tersebut sudah  dibatalkan atau pelamar pertama mengizinkannya. Ini sesuai dengan hadis yang  diriwayatkan oleh Ibn Umar. 

Para ulama fikih menetapkan dua syarat penting bagi seorang laki-laki yang ingin  meminang seorang wanita: 1. Syarat Mustahsinah, syarat ini bersifat anjuran, yaitu hal hal yang disarankan tetapi tidak wajib dipenuhi sebelum peminangan. Syarat-syarat  tersebut adalah: a) Sekufu‟ (sejodoh), laki-laki dan perempuan yang akan menikah  sebaiknya memiliki kesetaraan dalam hal status sosial, penampilan, kekayaan, dan ilmu pengetahuan, b) wanita yang penyayang dan subur (banyak anak), dianjurkan memilih  wanita yang dikenal memiliki sifat kasih sayang dan subur, c) tidak ada hubungan darah,  laki-laki tidak boleh meminang wanita yang memiliki hubungan darah, sesuai dengan  ketentuan Al-Qur'an dalam Surat An-Nisa' ayat 23, d) mengetahui kondisi fisik dan budi  pekerti, Dianjurkan bagi kedua pihak untuk mengetahui kondisi jasmani dan kepribadian  satu sama lain sebelum menikah. 2. Syarat Lazimah (Wajib) Syarat ini wajib dipenuhi,  dan peminangan tidak sah tanpa memenuhinya: a) wanita yang dipinang bukan istri orang  lain atau sedang dipinang laki-laki lain, tidak diperbolehkan melamar wanita yang masih  dalam pinangan orang lain kecuali lamaran tersebut telah dilepaskan, b) wanita tidak  dalam masa iddah talaq raj'I, Jika seorang wanita masih dalam masa iddah dari talak raj'i,  mantan suaminya masih memiliki hak untuk merujuknya, c) wanita bukan mahram,  wanita yang dipinang haruslah yang boleh dinikahi dan tidak termasuk dalam kategori  mahram bagi laki-laki yang meminangnya. Syarat mustahsinah adalah anjuran yang  memperkuat kelangsungan rumah tangga, sementara syarat lazimah adalah syarat mutlak  yang menentukan sahnya peminangan. 

Islam sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah menyediakan  pedoman lengkap mengenai proses khitbah (melamar) dalam pernikahan. Berikut  beberapa poin penting yang berkaitan dengan khitbah dalam Islam:  

a. Cara Melamar: 

∙ Melamar Sendiri: Laki-laki diperbolehkan melamar sendiri wanita pilihannya  jika merasa cocok. 

∙ Melamar Melalui Wali atau Orang Tua: Biasanya laki-laki datang ke rumah  calon wanita dan berbicara dengan orang tuanya untuk melamar. 

∙ Melalui Wakil atau Pemuka Masyarakat: Laki-laki juga dapat meminta  bantuan pemuka masyarakat atau tokoh agama dalam proses melamar. 

∙ Wanita Menawarkan Diri: Wanita juga diperbolehkan menawarkan diri untuk  dinikahi oleh laki-laki yang saleh. 

∙ Melihat Wanita yang Dilirik: Dalam Islam, laki-laki dianjurkan melihat wajah  wanita yang ingin dilamar untuk mengetahui kecocokan. 

∙ Shalat Istikharah: Sebelum melamar, disarankan melaksanakan shalat  istikharah untuk meminta petunjuk dari Allah.

b. Larangan dan Pantangan dalam Melamar: 

∙ Melamar Wanita yang Sudah Dilamar: Tidak diperbolehkan melamar wanita  yang sudah dalam proses lamaran dengan laki-laki lain. 

∙ Khalwat: Laki-laki dan wanita yang belum menikah tidak boleh berkhalwat  atau berduaan tanpa mahram. 

∙ Terlalu Besar Mahar: Islam menganjurkan mahar yang sederhana.

∙ Lamaran Tanpa Persetujuan Wanita: Wali tidak boleh menikahkan wanita  tanpa persetujuannya. 

∙ Berbusana Berlebihan: Islam melarang berlebihan dalam penampilan,  termasuk dalam acara khitbah. 

∙ Pembatalan Lamaran Tanpa Alasan Jelas: Pembatalan tanpa alasan jelas  dianggap tidak etis. 

∙ Pemberian Hadiah: Diperbolehkan memberi hadiah saat melamar, namun  tidak diwajibkan. 

∙ Panduan ini menunjukkan pentingnya etika dalam melamar menurut ajaran  Islam. 

Secara bahasa mahar (maskawin) dalam bahasa Arab berasal dari kata صداق yang  bermakna maskawin, juga terkait dengan kata شدةق) shadaqah) yang mengandung makna  kejujuran dan ketulusan hati. Mahar berarti pemberian dengan hati yang tulus kepada  mempelai perempuan saat pernikahan, sebagai simbol bahwa pernikahan tersebut telah  sah dan dimateraikan. Menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar, mahar adalah harta yang  diberikan kepada perempuan oleh seorang laki-laki saat pernikahan atau hubungan  seksual (wathi‟). Syaikh Zainuddin Al-Malibari mendefinisikan mahar sebagai sejumlah  harta yang wajib diberikan karena nikah atau wathi‟. Ini menunjukkan kejujuran dari  pihak laki-laki dalam melangsungkan pernikahan. Dalam Mazhab Hanafi Mahar adalah  harta yang wajib diberikan oleh suami pada saat akad nikah sebagai imbalan dari  kenikmatan seksual yang akan diterimanya dalam pernikahan. 

Istilah Mahar dalam Al-Qur'an: a. Ujr, Hadiah atau ganjaran, b. Saduqot,  Pemberian yang tertulis, c. Faridah, Sesuatu yang diwajibkan atau ditetapkan. Makna  mahar dalam Islam, mahar bukan hanya sekadar sejumlah uang atau barang, tetapi juga  menunjukkan keseriusan dan ketulusan laki-laki dalam menikahi perempuan. Mahar  dikenal sebagai simbol "shidaq" atau kebenaran, namun tidak dimaksudkan bahwa wanita menjual dirinya. Mahar memberikan hak bagi perempuan dan menciptakan sarana  baginya untuk menunaikan kewajiban dalam pernikahan. 

Para ahli fiqih menetapkan beberapa syarat terkait mahar yang diberikan laki-laki  kepada perempuan yang dilamar, yaitu: a. dari benda halal yang suci, mahar harus  terhindar dari unsur haram, karena bisa diperjualbelikan atau dimanfaatkan secara  semestinya, b. berbentuk benda yang bermanfaat dan ada harganya, mahar tidak boleh  berupa benda yang tidak bermanfaat atau tidak bernilai, seperti sampah atau buah busuk.  Mahar harus berupa harta yang memiliki nilai. Hal ini dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu 'ala  Madzahibi al-Arba‟a yang menegaskan bahwa mahar harus berupa harta yang bernilai, c.  benda yang dimiliki, mahar harus berupa benda yang bisa diserahkan dan dimiliki oleh  perempuan. Contohnya, mahar tidak boleh berupa burung yang masih terbang di udara  atau ikan yang belum tertangkap di laut, karena belum menjadi milik pemberi mahar. 

Para ulama fiqih sepakat bahwa mahar dalam pernikahan adalah wajib,  berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadits. Dalam Surat An-Nisa‟ ayat 4, menegaskan bahwa suami wajib memberikan mahar kepada istrinya sebagai bentuk  penghargaan dan pemberian wajib dalam pernikahan. Mahar tersebut adalah hak penuh  calon istri, dan tidak boleh ada pihak lain, termasuk suami, yang mengambilnya tanpa  kerelaan istri. Dan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi, Rasulullah SAW memberikan  contoh mengenai mahar, di mana seorang laki-laki yang ingin menikah namun tidak  memiliki apa-apa, diizinkan oleh Rasulullah untuk memberikan mahar dalam bentuk  hafalan surat-surat Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa mahar bisa disesuaikan dengan  kemampuan pihak laki-laki, namun tetap harus diberikan. Dengan adanya dasar dari Al-Qur'an dan hadits, mahar menjadi kewajiban suami dalam pernikahan, dan tidak ada  ketentuan khusus mengenai jeda waktu antara lamaran dan akad nikah, kecuali demi  alasan teknis tertentu. 

Ada beberapa hikmah dari pelaksanaan khitbah dan pemberian mahar dalam Islam diantaranya, yaitu: a. pentingnya mahar dalam Islam, Mahar disyariatkan oleh Allah SWT  untuk meningkatkan derajat perempuan dan menegaskan bahwa proses setelah khitbah  memiliki kedudukan tinggi, b. pemberian mahar kepada perempuan adalah kewajiban  laki-laki karena laki-laki dianggap lebih mampu secara finansial. Mahar merupakan  tanggung jawab laki-laki dan bagian dari materi yang akan dikelola oleh perempuan  setelah menikah, c. peran mahar dalam kehidupan rumah tangga, pemberian mahar oleh  laki-laki juga menunjukkan tanggung jawabnya dalam kehidupan rumah tangga, di mana  laki-laki sebagai pemimpin diharapkan memberikan nafkah dan dukungan. mahar mencerminkan niat baik dan penghormatan kepada perempuan, serta menggantikan  praktik tradisi Jahiliyah yang merendahkan martabat perempuan. 

Adapun hikmah dan fungsi mahar yaitu: a. mahar adalah simbol penghargaan dan  saling menghargai antara suami dan istri. Ini menegaskan hak penuh perempuan atas  mahar yang diterima, yang dapat digunakannya sesuai keinginan, termasuk untuk  bershadaqah, b. mahar tidak harus menjadi beban atau kesulitan dalam pernikahan. Meski  bukan syarat sah akad nikah, mahar adalah bagian penting yang melambangkan  komitmen dan penghargaan. Dengan demikian, mahar dalam Islam berfungsi sebagai  bentuk penghormatan dan tanggung jawab laki-laki, serta mencerminkan perubahan dari  tradisi yang merugikan perempuan pada masa lalu.

DAFTAR PUSTAKA 

Ghozali ,Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 73-74. Abdullah, Ahmad Zawawi, Panduan Merancang Keluarga Bahagia, (Kuala Lumpur: Utusan  Publications dan Distributors Sdn Bhd), h. 3. 

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h.62,  63, 65 

Al-Imam Al-Syirazi, Al-Tanbih, (Damsyiq : Al-Kalam, 1994), h. 429 

Al-Qur'an S. An-Nisa': 4, h 

Abdil Aziz M, dkk, Fikih Munakahat Khitbah Nikah dan Talak (Jakarta : Amzah, t.t.), hal.  177. 

Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Di Indonesia Edisi Revisi,Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,  2013, hal. 87. 

Nur, Djaman, Fiqh munakahat, Semarang: Toha putra semarang, 1993, h. 13 Utsman, Abdurahman Muhammad, 'Aunul Ma'bud, Beirut : Dar Al-Fikr, s. a, Cetakan Ke-1,  No. 1781 

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih An-Nasai’i, Jakarta : Pustaka Azzam Anggota  IKAPI DKI, Cetakan Ke-1, No. 3202, 3199 

Mubarakfuri, Abu Alula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi, Jakarta : Pustaka Azzam, 2008, Cetakan ke-1, No. 4696 

Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari', Jakarta : Pustaka Iman, 2018, Cetakan  ke-3, No. 4732, 5856 

Al-Nawawi, Imam, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Daarul Hadiits-Kairo, Cetakan  Pertama, No. 2661 

Ibnu Rusyd, Binayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid II, Beirut: Darul Fikri, h. 3 Imam Hafiz Al-Mushannif, Al-Muttaqin Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, (Beirut:  Daar Ibn Hazm), Jilid II, h. 480. 

Afianti, Iva, Selubung Cinta Di Mudhalifah, (Bandung: Mizania, 2009), h. 128 Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : PT. Bulan Bintang,  Cet. III. h. 33 

Muhammad Bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Juz 1, 1971, h.  174 

Hambali, Muh, Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari Dari Kandungan Hingga Kematian,  Yogyakarta: Laksana, hal. 403-409


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Etika Digital dalam Perspektif Hadis: Panduan Berinteraksi di Era Media Sosial Oleh : M. Khoirul Irfan Albazuri Tulisan ini disusun gu...