Kata kunci: Niat, Kaidah Fiqh, Amal
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam khazanah keilmuan Islam, fiqh menempati posisi yang sangat penting sebagai pedoman praktis bagi umat Muslim dalam menjalankan ibadah dan muamalah sehari-hari. Dalam memudahkan penerapan hukum Islam dalam berbagai situasi, para ulama telah merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berfungsi sebagai prinsip umum dalam pengambilan keputusan hukum. Salah satu kaidah fiqh yang fundamental dan memiliki cakupan luas adalah "al-umuru bi maqasidiha" yang berarti "segala perkara tergantung pada niatnya" atau "setiap perbuatan dinilai berdasarkan maksud/tujuannya". Kaidah ini bersumber dari hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, di mana Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan." (HR. Bukhari dan Muslim).
Era modern ditandai dengan kompleksitas permasalahan dan dinamika sosial yang terus berubah, pemahaman dan penerapan kaidah "al-umuru bi maqasidiha" menjadi semakin relevan. Kaidah tersebut berperan sebagai landasan etika dalam bertindak, dan juga menjadi instrumen penting dalam menganalisis dan menetapkan hukum terhadap berbagai isu kontemporer yang belum ada preseden historisnya pada masa Nabi dan para sahabat.
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam tentang kaidah fiqh "al-umuru bi maqasidiha", meliputi definisi, dasar hukum, ruang lingkup penerapan, serta relevansinya dalam konteks kehidupan modern. Selain itu, akan dibahas pula beberapa contoh aplikasi kaidah ini dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk ibadah, muamalah, dan permasalahan sosial kontemporer. Melalui pembahasan ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang signifikansi kaidah "al-umuru bi maqasidiha" dalam pengembangan hukum Islam yang responsif terhadap tuntutan zaman, namun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah.
PEMBAHASAN
A. Kaidah Inti Muara Qawa’ide Fiqhiyyah Jalbul Mashalih wa Dar’ul Mafasid
جلب المصالح ودرء المفاسد
Meskipun secara konvensional, mayoritas kompendium ushul fiqh hanya mendelineasi lima kaidah dasar tanpa eksplisit menyebutkan kaidah ini, esensi dari kelima kaidah dasar tersebut merupakan manifestasi dari realisasi maslahat bagi umat manusia. Kaidah ini emerjensi sebagai hasil sintesis para cendekiawan Islam terhadap lima kaidah dasar Ushul fikih, mengindikasikan bahwa setiap aspek formulasi hukum intrinsik terkait dengan eksistensi maslahat di dalamnya.
Maşlahah berasal dari kata jadian şād-lam-ha, kemudian terbentuk kata şalaha, şaluha, şalāhan, şulûhan dan şalāhiyyatan yang bermakna baik atau positif. Secara etimologi kata al-maşlahah, jamaknya masāliḥ berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat, dan merupakan lawan dari keburukan dan kerusakan.1 Dari beberapa arti ini dapat diambil suatu pemahaman bahwa setiap sesuatu atau apa saja yang mengandung manfaat didalamnya baik untuk memperoleh kemanfaatan, kebaikan, maupun untuk menolak kemudaratan, maka semua itu bisa disebut dengan maslahah.
Secara etimologis, "al-mashalih" merupakan bentuk jamak dari "mashlahah", yang bermakna kepedulian, keuntungan, kebaikan, kesejahteraan, atau maslahat.2 Dalam konteks terminologis, konsep ini merujuk pada nilai filosofis kaidah fiqih yang berorientasi pada usaha menciptakan kemanfaatan dan mencegah kerusakan. Ibnu Ashur mendefinisikan mashlahah sebagai atribut kebaikan yang dihasilkan dari perbuatan individu, yang kemanfaatannya memiliki dimensi temporal yang tidak terbatas, baik bagi individu maupun masyarakat. Hal ini merupakan suatu imperatif yang inheren dalam kaidah fikih. Konsensus ulama menegaskan bahwa tidak diperkenankan adanya kaidah fikih yang muncul dengan membawa nilai filosofis yang tidak mengandung kebaikan di dalamnya.
Maslahah mursalah, dalam terminologi pakar ushul fiqh, merujuk pada suatu kemaslahatan yang tidak memiliki landasan hukum eksplisit dari pembuat syariat. Tidak terdapat dalil spesifik yang mendukung atau meniadakannya. Istilah "mursalah" digunakan karena jenis maslahah ini tidak terikat oleh perintah maupun larangan yang eksplisit. Ilustrasi maslahah mursalah dapat ditemukan dalam beberapa keputusan yang diambil oleh para sahabat, seperti institusi penjara sebagai alternatif qisas, pencetakan mata uang, pemberian hak pengelolaan tanah pertanian kepada penggarap, serta penerapan sistem perpajakan atas tanah tersebut. Nas dan konsensus ulama menegaskan bahwa syariah Islam mengandung hukum-hukum yang di dalamnya terkandung kemaslahatan bagi umat manusia.3 Sebagaimana firman Allah menyatakan,
1 Safriandi, MAQASHID AL-SYARI’AH & MASLAHAH Kajian terhadap pemikiran Ibnu ‘Asyur dan Sa’id Ramadhan Al-Buthi (Lhokseumawe: Safa Bumi Persada,2021)
2 https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/%D9%85%D8%B5%D9%84%D8%AD%D8%A9/
1. Maslahah dalam Al-Qur’an dan Hadist
وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا وَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي أَلْءَاخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
”Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”(Al-Baqarah 2:201)
(Dan di antara mereka ada pula yang berdoa, "Ya Tuhan kami! Berilah kami di dunia kebaikan), artinya nikmat, (di akhirat kebaikan) yakni surga, (dan peliharalah kami dari siksa neraka.") yakni dengan tidak memasukinya. Ini merupakan lukisan tentang keadaan orang-orang musyrik dan keadaan orang
orang beriman, yang tujuannya ialah supaya kita mencari dua macam kebaikan dunia dan akhirat, sebagaimana telah dijanjikan akan beroleh pahala dengan firman-Nya: (Tafsir Jalalayn)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانِ الْخُدْرِي، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَا
Dari Abu Sa'id Sa'd bin Malik bin Sinan al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain." (HR. Malik dalam Al-Muwatta', Ibn Majah, dan Ahmad).
3 Muhammad Afifudin Dimyathi. 2020. Jadawil Fusul fi ilmil Fusul. Al-Azhar: Dar-Alnbras. Hal. 32.
Hadits ini menunjukkan prinsip maslahah dalam mencegah mudarat (bahaya) bagi diri sendiri maupun orang lain, menegaskan bahwa setiap tindakan yang membahayakan dilarang dalam Islam.
ِوَمَا اَرْسَلْنَكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَلَمِيْنِ
Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Anbiya’ 107)
يَأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِى الصُّدُورٌ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنِ
Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi sesuatu (penyakit) yang terdapat dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang mukmin. (QS. Yunus 57)
Dalam hal klasifikasi mashlahah yang terkandung dalam kaidah fikih, terdapat diversitas opini di kalangan ulama. Ibnu Ashur, sebagaimana diinterpretasikan oleh Moh Toriquddin, mengkategorikan mashlahah menjadi tiga tipologi berdasarkan aspek pengaruhnya terhadap sustainabilitas umat:
a. Dharuriyat: Merupakan mashlahah yang bersifat esensial bagi seluruh umat manusia, mencakup kebutuhan fundamental setiap individu. Preservasi mashlahah jenis ini merupakan suatu imperatif; absensinya akan mereduksi martabat manusia setara dengan makhluk lainnya. Mashlahah ini diadopsi oleh para ulama dalam formulasi lima kaidah utama, atau yang dikenal sebagai kaidah kulliyat khomsah, yaitu perlindungan terhadap agama, akal, jiwa, harta, dan nasab.
b. Hajiyyat: Merupakan tingkatan mashlahah setelah dharuriyat. Meskipun signifikan, absensi mashlahah ini tidak mengakibatkan konsekuensi destruktif sebesar dharuriyat. Contoh mashlahah hajiyyat adalah preservasi kehormatan.
c. Tahsiniyyat: Jenis mashlahah yang berkaitan dengan kesempurnaan umat. Bukan merupakan kebutuhan yang mengancam eksistensi manusia, melainkan berkaitan dengan aspek estetika kemanusiaan. Mashlahah ini dianggap penting untuk meningkatkan daya tarik Islam. Contohnya adalah akhlak yang baik.4
Selain klasifikasi tersebut, analisis terhadap jenis-jenis mashlahah terus menjadi subjek kajian ekstensif di kalangan pemikir Islam. Terdapat berbagai aspek lain yang diklasifikasikan secara mendalam, termasuk perspektif hubungan dengan umat secara umum, serta realisasi kebutuhan dan pencegahan kerusakan.
4 Moh Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Ibnu Ashur, Ulul Albab Volume 14, No.2 Tahun 2013 h.197
2. Pandangan Ulama’ Mengenai Maslahah
a. Imam Al-Ghazali
Menurut Imam al-Ghazālī maṣlaḥaḥ didefinisikan dengan:
أما المصلحة فهي عبارة في األصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة ولسنا نعني به ذلك فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق وصالح الخلق في تحصيل مقاصدهم لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم فكل ما يتضمن حفظ هذه األصول الخمسة فهو مصلحة وكل ما يفوت هذه األصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة
“Al-Maṣlaḥaḥ dalam pengertian awalnya adalah menarik kemanfaatan atau menolak mudarat (sesuatu yang menimbulkan kerugian), namun tidaklah demikian yang kami kehendaki, karena sebab mencapai kemanfaatan dan menafikan kemadharatan, adalah merupakan tujuan atau maksud dari makhluk, adapun kebaikan atau kemashlahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka, akan tetapi yang kami maksudkan dengan al-Maṣlaḥaḥ adalah menjaga atau memelihara tujuan syara’, adapun tujuan syara’ yang berhubungan dengan makhluk ada lima, yakni: pemeliharaan atas mereka (para makhluk) terhadap agama mereka, jiwa mereka, akal mereka, nasab atau keturunan mereka, dan harta mereka, maka setiap sesuatu yang mengandung atau mencakup pemeliharaan atas lima pokok dasar tersebut adalah alMaṣlaḥaḥ, dan setiap sesuatu yang menafikan lima pokok dasar tersebut adalah mafsadah, sedangkan jika menolaknya (sesuatu yang menafikan lima pokok dasar) adalah al Maṣlaḥaḥ.”
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa, pemeliharaan tujuan (maqãṣid) syara’ yang dimaksud, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Segala sesuatu yang mengandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima ini adalah maṣlaḥaḥ, semua yang menghilangkannya adalah mafsadat dan menolaknya merupakan maṣlaḥaḥ.5
b. Husain Hamid
Husain Hamid memberikan pengertian maṣlaḥaḥ untuk menunjukkan dua pengertian, yaitu secara ḥaqi̅qat, yang menunjukkan pengertian manfaat dan guna itu sendiri, dan secara maja̅ z menunjukkan pada sesuatu yang melahirkan dua manfaat atau gunanya, sedang yang kedua menunjukkan pada medianya6.
c. Al-'Izz al-Dīn ibn Abd al-Salam
Maṣlaḥaḥ adalah kenikmatan dan kebahagiaan serta segala jalan menuju pada keduanya. Sedangkan mafsadah adalah rasa sakit dan kesusahan dan semua yang menghantarkan pada keduanya7.
d. Naj al-Dīn al-Ṭūfī
Mendefinisikan maṣlaḥaḥ menurut pandangan ‘urf (pemahaman yang berlaku di masyarakat) dengan sebab yang mendatangkan kebaikan atau manfaat, seperti transaksi perdagangan yang menghasilkan atau mendatangkan laba8.
5 Safriandi, MAQASHID AL-SYARI’AH & MASLAHAH Kajian terhadap pemikiran Ibnu ‘Asyur dan Sa’id Ramadhan Al-Buthi (Lhokseumawe: Safa Bumi Persada,2021)
6Husein Hamid Hasan, Nazariyah al-Maṣlaḥaḥ fi al-Fiqh al-Islami (Kairo: al-Mutabbi, 1981)
7Izz ad-Dīn Abd 'Aziz Ibn 'Abd as-Salam, Qawā'id al-Aḥkām fi Maṣālih al-Anām, cet.1, 1999 M, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah)
8 Najmuddin al-Ṭûfī, Kitab al-Ta’yīn Fi Syarh al-Arba’īn, (Beirut Libanon: Mu’assasah al-Rayyan al-Maktabah al-Malikiyyah, 1998)
B. Al-Umuru bi Maqasidiha dan Niat secara Etimologis dan Terminologis
Prinsip "Al-umuru bimaqashidiha" merupakan pondasi fundamental yang mencakup spektrum luas dalam ajaran Islam. Kaidah ini tidak hanya berkaitan dengan tindakan fisik, tetapi juga meliputi aspek verbal dari perilaku manusia. Esensinya terletak pada keselarasan antara suatu kejadian atau tindakan dengan intensi yang mendasarinya. Dalam konteks ini, niat yang bersemayam dalam sanubari seseorang saat melakukan suatu perbuatan menjadi faktor krusial dalam menentukan bobot moral dan kedudukan hukum dari tindakan tersebut.9 Kaidah "al-umuru bimaqashidiha" memiliki signifikansi fundamental dalam jurisprudensi Islam. Secara etimologis, "al-umur" mengacu pada keadaan, kebutuhan, peristiwa, dan perbuatan, sementara "al-maqashid" merujuk pada maksud atau tujuan. Dalam konteks terminologi, kaidah ini menekankan bahwa perbuatan dan tindakan mukallaf, baik verbal maupun non-verbal, dinilai berdasarkan hukum syara' sesuai dengan intensi yang mendasarinya.10 Mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah sebagai prinsip umum yang berlaku atas hukum-hukum partikular. Konsep niat, yang integral dengan kaidah ini, memiliki beragam interpretasi di antara mazhab-mazhab Islam. Mazhab Syafi'i mendefinisikan niat sebagai intensi untuk melakukan suatu tindakan yang diikuti dengan implementasinya. Sementara itu, mazhab Hanbali menempatkan niat dalam domain hati, mengargumentasikan bahwa ia merupakan manifestasi dari maksud yang bersifat internal. Al-Baihaqi mengklasifikasikan aktivitas manusia ke dalam tiga kategori berdasarkan sumbernya: hati, lisan, dan anggota tubuh lainnya. Dalam hierarki ini, niat yang berasal dari hati dianggap paling esensial karena potensinya untuk berfungsi sebagai ibadah. Niat berperan krusial sebagai determinan kualitas dan signifikansi perbuatan individu.11
Konsensus di antara mayoritas ulama fikih menetapkan bahwa esensi niat adalah kesengajaan (al-qashd), yang secara intrinsik berada dalam domain hati. Namun, mengingat kompleksitas dalam mengevaluasi niat yang bersifat internal, para ulama merekomendasikan artikulasi verbal sebagai mekanisme fasilitasi bagi gerakan hati. Signifikansi niat terletak pada perannya sebagai faktor determinatif dalam menilai kualitas dan makna perbuatan seseorang. Hal ini mencakup evaluasi apakah suatu tindakan dilakukan dengan niat memperoleh ridha Allah, sebagai respons terhadap kebiasaan, atau bahkan dengan niat yang bersifat maleficent. Oleh karena itu, niat harus dilandaskan pada beberapa objektif: (1) diferensiasi antara ibadah dan kebiasaan, (2) distinsi antara perbuatan baik dan jahat, serta (3) determinasi validitas ibadah dan diferensiasi antara ibadah wajib dan sunnah.12
Kaidah "Al-Umuru bi Maqashidiha" memiliki landasan yang kuat dalam sumber-sumber utama hukum Islam. Fondasi kaidah ini dapat ditelusuri dalam Al Qur'an, khususnya pada Surat Al-Bayyinah [98]: 5 yang menekankan kemurnian ketaatan dalam ibadah, dan Surat Ali 'Imran [3]: 145 yang menggarisbawahi hubungan antara intensi dan konsekuensi. Lebih lanjut, hadis yang diriwayatkan oleh An-Nawawi (1277) menegaskan signifikansi niat dalam menentukan nilai suatu perbuatan. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy dalam "Pengantar Hukum Islam" menjelaskan bahwa kaidah "al-umūru bi niyyātihā" memiliki peran sentral dalam interpretasi fiqh. Kaidah ini berfungsi sebagai instrumen diferensiasi antara ibadah dan adat istiadat, seperti yang diilustrasikan dalam perbedaan antara puasa dan diet.13
Kedudukan niat sangat penting dalam menentukan hukum sebuah perbuatan. Sebagai contoh, seseorang yang mengambil barang haram milik orang lain dengan tujuan untuk menghancurkannya, maka dia dianggap tidak mencuri dan tidak berdosa, bahkan mendapat pahala.14 Hal ini karena niatnya adalah untuk melakukan kebaikan dengan menghancurkan barang haram. Sebaliknya, jika dia mengambil barang tersebut dengan niat mencuri, maka perbuatannya dianggap mencuri dan berdosa, karena niatnya adalah jahat.
Contoh lain, seseorang yang mengambil barang temuan dengan niat untuk memeliharanya sampai ketemu pemiliknya, maka jika barang itu rusak, dia tidak harus mengganti. Namun jika dia mengambil dengan niat untuk memiliki, dia harus bertanggung jawab jika barang itu rusak. Menurut al-Zarqa', ini dianggap menggunakan hak milik orang lain secara paksa dan tidak sah.15
Niat secara etimologi berasal dari bahasa Arab نية - ينوي - نوي yang berarti al-qaşdu, al-hajah,16 yang berarti, maksud, tujuan, hajat. Dalam terminologi syara', niat bermakna "al- 'azmu ala fi'li syai' taqarruban ila Allah."17 Artinya adalah keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk pendekatan kepada Allah. Dalam terminologi yang lain, niat didefinisikan sebagai "qasdu al-syai' muqtarinan bi fi'lih”18 terjemahan bebasnya lebih kurang adalah "kesengajaan untuk melakukan sesuatu yang kemudian disertakan dengan tindakan hukumnya". Ibnu Manzur dalam Lisan al-'Arab menyebutkan, niat berasal dari kata nawa dengan masdar niyyah (dengan tasydid) atau niyah (tanpa tasydid), yang berarti qasadahu wa i'tiqadahu, dan definisi niat menurutnya adalah al-wajhu yużhabu fihi,19 (orientasi atau visi yang ingin dicapai).
Dalam terminologi syara’, niat bermakna “al-‘azmu ala fi’li syai’ taqarruban ila Allah.” Artinya adalah keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk pendekatan kepada Allah. Dalam terminologi yang lain, niat didefinisikan sebagai “qasdu al-syai’ muqtarinan bi fi’lih”20 terjemahan adalah “kesengajaan untuk melakukan sesuatu yang kemudian disertakan dengan tindakan hukumnya”. Ibnu Manz}ur dalam Lisan al-‘Arab menyebutkan, niat berasal dari kata nawa dengan masdar niyyah (dengan tasydid) atau niyah (tanpa tasydid), yang berarti qasadahu wa i’tiqadahu, dan definisi niat menurutnya adalah al-wajhu yuzhabu fihi,21 (orientasi atau visi yang ingin dicapai).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan niat sebagai: 1) maksud atau tujuan suatu perbuatan; 2) kehendak (keinginan dalam hati) akan melakukan sesuatu; 3) janji untuk melakukan sesuatu jika cita-cita atau harapan terkabul; kaul; nazar.22 Sementara jika kata niat dikonversi ke dalam bahasa Inggris maka ia berarti intention, plan, aim. Dari beberapa arti niat di atas, dapat disimpulkan bahwa niat adalah maksud, tujuan, harapan, yang ingin dicapai seseorang dalam melakukan suatu perbuatan, yang tertanam dalam hatinya, dan terimplementasi dalam tindakannya.
9 Al-Fakhr, & Ahmad, A. I. (2023). Ahkam al-jawar fi daw’ al-qawa’id al-fiqhiyah. Majallat Kulliyat AlShariah Wal-Qanun Bi-Asyut, 35(7), 985–1051.
10 Munir, M. M. (2023). Managing Institutes from the Perspective of the Five Major Jurisprudential Rules (Darus Salam Blok Agung Banyuwangi Institute-Field Study). International Proceeding of The Postgraduate School, Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1(1), 19–36. 11 Al-Mazini. (2023). Al-athar al-fiqhi li al-qawa’id al-fiqhiyah al-kulliyah al-muta’alliqah bial talawwuth al-bi’i. Majallat Kulliyat Al-Shariah Wal-Qanun Bi-Asyut, 35(1), 198–256. 12 Azhari, A. K. (2015). Konsep Ibadah Dalam Islam. Jurnal Al-Daulah, 4(2), 244–255.
13 Shiddieqy, T. H. A. & Others. (1975). Pengantar hukum Islam. PT Bulan Bintang.
14 Al-Zuhaili, W. (2006). Wahbah al-Zuhaili’s al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Dar al-Fikr.
15 Al-Ghamdi, Kh. B. A. B. S. (2022). Riwayat Sahl bin Mu’ath bin Anas Al-Juhani fi kutub al Sunan. Jam’an wa tawthiqan wa dirasatan. Journal of The Iraqi University, 56(1). https://www.iasj.net/iasj/article/246329
16 Sa’di Abu Habib, Al-Qamus Al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan (Damaskus: Dar al-Fikri, 1988)., h. 364
17 Sa’di Abu Habib, Al-Qamus Al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan (Damaskus: Dar al-Fikri, 1988)., h. 36
18 3 Sa’di Abu Habib, Al-Qamus Al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan (Damaskus: Dar al-Fikri, 1988)., h. 36
19 Jamaluddin Ibnu Manzur, Lisanu Al-’Arab (Beirut: Dar Sadir, 1414)., juz 5 h.347 20 3 Sa’di Abu Habib, Al-Qamus Al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan (Damaskus: Dar al-Fikri, 1988)., h. 364
21Jamaluddin Ibnu Manzur, Lisanu Al-’Arab (Beirut: Dar Sadir, 1414)., juz 5 h.347
22 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pusat Bahasa, 2008), h. 1074
1. Dalil Kaidah Al-Umuru bi Maqasidiha
Dengan sebab niat, seseorang bisa mendapatkan ganjaran pahala atau justru terjatuh dalam perbuatan dosa, bahkan seseorang bisa dikategorikan sebagai orang berdosa meskipun melakukan ibadah, Misalnya seseorang yang melakukan shalat, seharusnya ia mendapatkan pahala dari ibadahnya, tapi dengan sebab niatnya ingin dipuji oleh orang lain maka justru ia diklaim sebagai orang yang melakukan syirik. Sebaliknya pula, seseorang akan dapat mendapatkan pahala hanya dengan berniat, meskipun ia belum sempat melakukan suatu pekerjaan. Seperti seorang yang berniat ingin shalat tengah malam, tapi ia tertidur sampai pagi, maka ia mendapatkan pahala shalat malam. Dalam hadis yang diriwayatkan Nasa'i, dari Abu Darda', Rasulullah bersabda:
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّيَ مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ حَتَّى يُصْبِحَ، كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى، وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ
Artinya "barang siapa yang naik ke atas tempat tidurnya dengan berniat untuk bangun shalat pada malam hari, kemudian ia tertidur sampai pagi, maka dicatatkan untuknya apa yang ia niatkan, sedangkan tidurnya dinilai sebagai sedekah dari Tuhannya."23
Dari urgensi niat tersebut, maka lahirlah kaidah-kaidah fikih yang dirumuskan para ulama tentang kedudukan niat, Ibnu Nujaim merumuskan sebuah kaidah “لَا ثَوَابَ إِلَّا بِالنَّيَّة" tidak ada pahala kecuali dengan niat.24 Kemudian kaidah fikih yang paling populer tentang niat adalah “الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا” “Sesuatu itu tergantung niat dan tujuannya".
Kaidah ini merupakan kaidah dasar yang disepakati para ahli hukum Islam, berdasarkan hadits “الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا”. Tidak ada perdebatan tentang besarnya fungsi niat dalam beribadah kepada Allah. Namun, karena posisi niat ini letaknya di dalam hati, yang menjadi permasalahan adalah dimana sebenarnya posisi dan kedudukan niat ini ketika dihadapkan vis a vis pada kasus hukum yang lebih dominan pada pembuktian secara empiris, bagaimana penerapannya dalam permasalahan hukum, misalnya kasus hukum tindak pidana pembunuhan, bagaimana seorang hakim bisa membuktikan niat seorang yang membunuh, apakah ada pengaruh sanksi hukum karena alasan niat.
23 Al-Nasa’i, Al-Sunan Al-Kubra, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 2001), Juz 2, h. 178
24 Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa Al-Naz}air, (Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 1999), h. 17
C. Kaidah Furu dari Al-Umuru bi Maqasidiha
( لَا ثَوَابَ إِلَّا بِالنَّيَّة) Tidak ada pahala kecuali dengan niat
Prinsip dasar mengenai pengaruh niat terhadap nilai suatu perbuatan merupakan landasan dari kaidah ini. Kaidah ini secara tegas menyatakan bahwa baik buruknya sebuah tindakan semata-mata ditentukan oleh niat yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Dengan kata lain, tanpa adanya niat yang jelas dan tulus, sebuah perbuatan sekecil apapun tidak akan memiliki nilai moral yang signifikan, An Nawawi menegaskan bahwa niat merupakan prasyarat mutlak untuk mengklasifikasikan suatu perbuatan sebagai ibadah. Melalui niat, kita dapat membedakan antara amalan yang memiliki nilai spiritual dan tindakan yang bersifat duniawi semata.25 Ada beberapa hadist yang menguatkan hal tersebut di antaranya:
عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ». وفي لفظ للبخاري: «إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُ مَا نَوَى ( متفق عليه صحيح مسلم)
Artinya: Umar bin Al-Khaṭṭāb -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan: Rasulullah bersabda,"Sesungguhnya semua amalan itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang (balasan dari) apa yang diniatkannya. Siapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada yang diniatkannya." Dalam redaksi Bukhari: "Sesungguhnya semua amalan itu tergantung niat-niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang (balasan dari) apa yang diniatkannya.
25 Iqbal Noor dan Sulaeman “Implementasi Kaidah “Al-Umuru Bimaqosidiha” Dalam Praktek Al-Buyu’ Dan Ijaroh” MASTER: JURNAL MANAJEMEN DAN BISNIS TERAPAN, no. 2 (2023) : 4
https://www.bing.com/ck/a?!&&p=765555eaadac6241a43e9e13059bd26af1269dc9017de77b5b4 3a1c4f4bc9c80JmltdHM9MTcyNTkyNjQwMCZpbnNpZD01MjUy&ptn=3&ver=2&hsh=4&fcli d=35d44fdf-ea1b-6d61-2f3f
5ce3eb4d6cd7&psq=pembahasan+kaidah+furu+al+umuru+bimaqashidiha+pdf&u=a1aHR0cHM 6Ly9qdXJuYWxuYXNpb25hbC51bXAuYWMuaWQvaW5kZXgucGhwL01BU1RFUi9hcnRpY 2xlL2Rvd25sb2FkLzE1NTQ2LzY0OTM&ntb=1
26 Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim (Lebanon: Dar al Ktub al-Ilmiyah, 2008), 190.
Adapun contoh dari pengaplikasian kaidah tersebut yaitu Seseorang yang berpuasa namun hanya karena ingin diet atau ikut-ikutan teman, tanpa niat untuk menunaikan perintah Allah, maka puasanya tidak dianggap ibadah dan tidak mendapatkan pahala.
(الأصل أن النية إذا تجردت عن العمل لا تكون مؤثرة في الأمور الدنيوية) Dasarnya adalah bahwa niat yang tidak diikuti oleh perbuatan tidak akan berpengaruh pada urusan duniawi
Niat adalah langkah awal yang baik, tetapi tindakan adalah yang akan mewujudkan niat tersebut menjadi kenyataan. Tanpa tindakan, niat hanyalah sebuah harapan yang tidak akan pernah terwujud. Dalam kehidupan sehari-hari, penting untuk menyeimbangkan niat dengan tindakan. Niat yang kuat akan memberikan motivasi, tetapi tindakan yang konsisten akan membawa hasil yang nyata
Contoh : Seseorang mungkin berniat untuk belajar dengan rajin agar mendapatkan nilai yang baik. Namun, jika niat tersebut tidak diwujudkan dalam bentuk belajar secara teratur dan mengerjakan tugas, maka nilai yang didapatkan tidak akan sesuai dengan harapan.
(الأصل مقارنة النية بالفعل إلا أن يتعذر أو يتعسر فتقدم ولا تتأخر) Dasarnya adalah menyeimbangkan niat dengan perbuatan, kecuali jika sulit atau tidak mungkin, maka niat didahulukan dan tidak ditunda
Kaidah ini menyatakan bahwa pada dasarnya, niat dalam melakukan suatu ibadah harus sejalan dengan perbuatan ibadah itu sendiri. Niat harus ada dan hadir saat kita melakukan ibadah. Namun, ada pengecualian pada kondisi dimana menyeimbangkan niat dengan perbuatan itu sulit atau tidak mungkin dilakukan. Dalam kasus seperti ini, niat bisa didahulukan dan tidak perlu dilakukan secara terus-menerus selama pelaksanaan ibadah.
Contoh: jika kamu sedang sangat sibuk atau jauh dari rumah, niat untuk membantu bisa dilakukan dengan cara lain, seperti mengirim pesan dukungan, mengatur bantuan dari orang lain, atau menyisihkan waktu di kemudian hari.
(مالا يشترط التعرض له جملة وتفصيلا إذا عينه وأخطأ لم يضر) Apa yang tidak disyaratkan untuk disebutkan secara global dan detail, jika seseorang telah menunjuknya dan terjadi kesalahan, maka tidak mengapa.
Kaidah tersebut bermaksud bahwa dalam beberapa konteks atau situasi, tidak semua hal perlu dijelaskan secara detail atau spesifik. Jika ada sesuatu yang tidak diwajibkan untuk dijelaskan dengan sangat mendetail, maka ketika seseorang telah menunjukkannya dengan cara yang umum atau global dan terjadi kesalahan kecil dalam proses tersebut, kesalahan itu tidak dianggap serius atau penting atau ada perintah yang bersifat universal namun tidak mengatur secara spesifik juga detail tentang bagaimana ukuran sesuatu peraturan tersebut disebut melanggar dan ketika suatu saat ketika terjadi kesalahan kecil bisa dimaafkan
contohnya : Misalkan kamu memberikan instruksi kepada seseorang untuk membeli bahan makanan. Kamu hanya mengatakan "beli sayuran hijau" tanpa menyebutkan jenis sayuran secara spesifik (misalnya, bayam atau kangkung). Jika orang tersebut kemudian membeli jenis sayuran hijau yang berbeda dari yang kamu maksud, kesalahan ini dianggap tidak masalah karena instruksi awal memang tidak detail.
(مَا يُشْتَرَطَ فِيهِ التَّعْيِينِ، فَالْخَطَأَ فِيهِ مُبْطِل) Apa yang disyaratkan di dalamnya (yaitu) penentuan (yang jelas), maka kesalahan di dalamnya membatalkan perbuatan tersebut.
Kalimat "Apa yang disyaratkan di dalamnya (yaitu) penentuan (yang jelas), maka kesalahan di dalamnya membatalkan perbuatan tersebut" mengandung makna bahwa dalam konteks tertentu, suatu tindakan atau perbuatan yang mensyaratkan penentuan atau kejelasan, akan menjadi batal atau tidak sah apabila terjadi kesalahan dalam penentuan tersebut.hal tersebut merujuk pada kebutuhan untuk menentukan sesuatu dengan tepat dan jelas. Contohnya bisa berupa penentuan waktu, tempat, tujuan, atau syarat lainnya yang spesifik dalam suatu tindakan atau kontrak. Sama halnya yang disampaikan Ibnu Rusyd barang yang cacat atau rusak boleh dikembalikan.27 Adapun yang menjadi dasar hukumnya yaitu
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta kamu sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya), kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani kamu.
Contoh : Dalam hukum kontrak, jika ada syarat yang mensyaratkan penentuan yang jelas (misalnya, spesifikasi barang yang dijual), maka jika ada kesalahan dalam penentuan ini, kontrak bisa dianggap batal.
(ما يجب التعرض له جملة ولايشترط تعيينه تفصيلا إذا عينه وأخطأ ضر) Apa yang wajib disebutkan secara umum dan tidak disyaratkan penentuannya secara terperinci, jika seseorang telah menentukannya namun keliru, maka tidak mengapa.
Kaidah ini merujuk pada prinsip dalam hukum atau aturan yang mengatur bahwa jika ada sesuatu yang biasanya tidak perlu dijelaskan secara rinci (karena cukup disebutkan secara umum), maka jika seseorang mencoba menjelaskan secara rinci tetapi membuat kesalahan, itu tidak dianggap sebagai masalah besar.
Contohnya : Dalam kontrak atau perjanjian, ada hal-hal yang cukup dijelaskan secara umum, seperti "Barang harus dikirim tepat waktu." Jika seseorang mencoba menjelaskan lebih detail kapan waktu pengiriman yang tepat, tetapi ada kesalahan dalam detail waktu tersebut, itu mungkin tidak mengubah kewajiban utama untuk mengirim barang tepat waktu.
27 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al Muqtashid terjemahan, (Jakarta: Pustaka Azzam,2007), 335
(مقاصد اللفظ على نية اللافظ إلا فى موضع واحد وهو اليمين عند القاضي فإنها على نية القاضي) Niat dalam sumpah itu mengkhususkan lafaz umum dan tidak menggeneralisasi lafaz khusus.
Ketika seseorang mengucapkan sumpah, niat yang terkandung di dalamnya menjadi sangat penting. Niat ini berfungsi untuk mengikat diri pada suatu janji atau komitmen. Dalam konteks sumpah, terdapat prinsip penting yaitu pengkhususan lafaz umum dan tidak menggeneralisasi lafaz khusus. yang artinya dari lafadz umum jika seseorang mengucapkan sumpah dengan lafaz yang umum, maka niatnya harus dikhususkan pada hal yang ingin diikat sumpahnya. Misalnya, jika seseorang berkata, "Demi Allah, saya akan berbuat baik," maka niatnya harus dikhususkan pada perbuatan baik apa yang akan dilakukan dan arti dari jika seseorang mengucapkan sumpah dengan lafaz yang khusus, maka niatnya tidak boleh digeneralisasi.
Contohnya: Misalnya, jika seseorang berkata, "Demi Allah, saya akan sholat lima waktu," maka niatnya tidak boleh diartikan sebagai sholat yang asal asalan atau tidak khusyuk.
(مقاصد اللفظ على نية الالفظ إَل فى موضع واحد وهو اليمين عند القاضي فإنها على نية القاضي) Maksud dari suatu ucapan itu bergantung pada niat orang yang mengucapkan, kecuali dalam satu hal, yaitu sumpah di hadapan hakim, maka sumpah itu bergantung pada niat hakim.
ini menjelaskan tentang bagaimana niat mempengaruhi interpretasi ucapan seseorang, dengan pengecualian khusus ketika sumpah diucapkan di hadapan hakim. Yakni yang dimaksud dengan maksud bergantung pada niat orang yang mengucapkan maka secara umum, maksud dari suatu ucapan biasanya bergantung pada niat atau tujuan orang yang mengucapkan. Misalnya, jika seseorang berbicara atau berjanji, apa yang dia maksudkan tergantung pada apa yang dia niatkan dalam hatinya. Niat adalah penentu utama apakah ucapan itu serius, bercanda, atau memiliki arti tertentu. Dan yang dimaksud dengan kecuali
dalam satu hal, yaitu sumpah di hadapan hakim, maka sumpah itu bergantung pada niat hakim yaitu dalam situasi ini, interpretasi dari sumpah tidak semata mata bergantung pada niat orang yang bersumpah. Sebaliknya, niat hakim menjadi faktor yang menentukan. Artinya, bagaimana sumpah tersebut dipahami atau diinterpretasikan akan mengikuti apa yang hakim niatkan atau maksudkan dalam proses pengambilan sumpah. Hakim mungkin memiliki niat tertentu terkait klarifikasi, konteks, atau tujuan hukum dari sumpah tersebut, dan itulah yang menjadi dasar penilaiannya.
Contohnya : Misalnya, seorang saksi diminta bersumpah untuk mengatakan yang sebenarnya. Jika saksi tersebut memiliki niat pribadi yang berbeda (misalnya, ingin menyelamatkan seseorang), niat itu tidak menjadi fokus utama dan Hakim mungkin memiliki niat untuk memastikan kebenaran yang spesifik dari kesaksian itu. Oleh karena itu, sumpah saksi akan diinterpretasikan berdasarkan niat dan arahan dari hakim, bukan niat saksi.
(العبرة فى العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني) Inti dalam perjanjian adalah tujuan dan maksud, bukan hanya kata-kata dan bentuk kalimatnya.
Kaidah tersebut menekankan pentingnya memahami esensi atau niat sebenarnya di balik suatu perjanjian daripada sekadar berfokus pada kata-kata atau bahasa yang digunakan dalam teks perjanjian tersebut. Hal ini berarti bahwa untuk menilai atau menafsirkan sebuah perjanjian, kita harus memperhatikan tujuan utama dan maksud dari para pihak yang membuat perjanjian itu, bukan hanya terjebak pada formulasi kata-kata yang mungkin ambigu atau kurang jelas. dan dalam setiap perjanjian, yang paling utama adalah memahami apa yang sebenarnya disepakati oleh para pihak, yaitu tujuan dan maksud dari perjanjian tersebut. Sehingga, berfokus pada tujuan dan maksud tersebut kita dapat menghindari kesalahpahaman yang mungkin timbul akibat bahasa yang digunakan
Contohnya : Dalam kontrak kerja disebutkan pekerja akan melakukan tugas tambahan bila diperlukan dan adapun tujuannya sebenarnya bisa jadi untuk memastikan fleksibilitas pekerjaan dan tugas tambahan yang wajar. Maka, jika atasan meminta tugas yang sama sekali tidak sesuai dengan pekerjaan inti atau terlalu berat dibanding dengan pekerjaan awal, maka tujuan dan maksud (fleksibilitas dalam lingkup tugas yang wajar) akan menjadi pertimbangan utama.
(تفتقر إلى النية لا لتروك) meninggalkan sesuatu tidak perlu menggunakan niat khusus.
Kalimat ini merujuk pada konsep bahwa dalam konteks tertentu, tindakan untuk menghindari atau meninggalkan sesuatu tidak selalu memerlukan niat khusus atau maksud yang mendalam. Dengan kata lain, jika seseorang menghindari atau tidak melakukan sesuatu, itu tidak perlu disertai dengan niat khusus; cukup dengan meninggalkan atau menghindarinya sudah mencukupi. Contohnya: ketika seseorang ingin meninggalkan waktu tidur siangnya maka dia tidak perlu menggunakan niat khusus.
(الصريح لا يحتاج إلى النية والكناية لا تلزم إلا بالنية) Ungkapan yang jelas tidak memerlukan niat, sementara ungkapan yang kiasan hanya berlaku dengan niat.
Kalimat ini menggarisbawahi pentingnya membedakan antara pernyataan yang jelas dan pernyataan yang kiasan dalam hal interpretasi. Ungkapan yang jelas tidak memerlukan niat tambahan untuk pemahaman, sementara ungkapan kiasan memerlukan niat dan konteks tambahan untuk menafsirkan makna sebenarnya.
Contohnya : "Dia memiliki tangan yang panjang di perusahaan ini." Untuk memahami maksud dari ungkapan ini, kita perlu mengetahui niat di baliknya, apakah itu berarti seseorang memiliki pengaruh besar atau posisi tinggi dalam perusahaan.
KESIMPULAN
Kaidah fiqh "al-umuru bi maqasidiha" adalah satu prinsip fundamental dalam hukum Islam yang menekankan pentingnya niat dan tujuan dalam setiap tindakan. Secara lughawi, kaidah ini berarti "segala perkara tergantung pada maksudnya", sedangkan secara istilahi, ia mengandung makna bahwa hukum syariat terhadap suatu perbuatan sangat bergantung pada niat dan tujuan pelakunya. Landasan utama kaidah ini berasal dari hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab.
Analisis terhadap dalil kaidah ini mengungkapkan bahwa niat dalam perspektif syariah didefinisikan sebagai kehendak hati untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Kedudukan niat sangat penting dalam ibadah dan muamalah, bahkan menjadi syarat sah untuk beberapa jenis ibadah. Hubungan yang erat antara niat dan amal perbuatan dalam penetapan hukum Islam menunjukkan bahwa niat dapat mempengaruhi status hukum suatu perbuatan, menegaskan fleksibilitas dan kedalaman hukum Islam dalam memahami tindakan manusia.
Dari kaidah utama ini, lahir beberapa kaidah cabang (furu') yang memiliki relevansi signifikan dalam konteks kehidupan kontemporer. Kaidah-kaidah seperti "la stawaba illa bi niyat" memperluas aplikasi prinsip ini ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari interpretasi kontrak hingga evaluasi sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Penerapan kaidah "al-umuru bi maqasidiha" dan kaidah-kaidah turunannya memiliki implikasi luas dalam berbagai aspek kehidupan Muslim kontemporer. Kaidah ini memberikan fleksibilitas dalam penerapan hukum Islam, yang penting dalam menghadapi kompleksitas persoalan modern.
DAFTAR PUSTAKA
Afifudin Dimyathi, Muhammad. Jadawil Fusul fi ilmil Fusul. Al-Azhar: Dar Alnbras, 2020.
Al-Fakhr, & Ahmad, A. I. "Ahkam al-jawar fi daw’ al-qawa’id al-fiqhiyah." Majallat Kulliyat Al-Shariah Wal-Qanun Bi-Asyut, 35(7), 2023. Al-Ghamdi, Kh. B. A. B. S. "Riwayat Sahl bin Mu’ath bin Anas Al-Juhani fi kutub al-Sunan. Jam’an wa tawthiqan wa dirasatan." Journal of The Iraqi University, 56(1), 2022. https://www.iasj.net/iasj/article/246329. Al-Mazini. "Al-athar al-fiqhi li al-qawa’id al-fiqhiyah al-kulliyah al-muta’alliqah bial-talawwuth al-bi’i." Majallat Kulliyat Al-Shariah Wal-Qanun Bi Asyut, 35(1), 2023.
Al-Nasa’i. Al-Sunan Al-Kubra. Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2001. Juz 2. Al-Ṭûfī, Najmuddin. Kitab al-Ta’yīn Fi Syarh al-Arba’īn. Beirut: Mu’assasah al Rayyan al-Maktabah al-Malikiyyah, 1998.
Al-Zuhaili, W. Wahbah al-Zuhaili’s al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Dar al-Fikr, 2006.
Azhari, A. K. "Konsep Ibadah Dalam Islam." Jurnal Al-Daulah, 4(2), 2015. Habib, Sa’di Abu. Al-Qamus Al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan. Damaskus: Dar al Fikri, 1988.
Hasan, Husein Hamid. Naz̄ariyah al-Maṣlaḥaḥ fi al-Fiqh al-Islami. Kairo: al Mutabbi, 1981.
https://www.almaany.com/id/dict/arid/%D9%85%D8%B5%D9%84%D8% AD%A9/.
Ibnu Manzur, Jamaluddin. Lisanu Al-’Arab. Beirut: Dar Sadir, 1414, Juz 5. Ibnu Nujaim. Al-Asybah wa Al-Nazair. Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 1999. Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajjaj. Shahih Muslim. Lebanon: Dar al Ktub al-Ilmiyah, 2008.
Iqbal, Noor dan Sulaeman. "Implementasi Kaidah 'Al-Umuru Bimaqosidiha' Dalam Praktek Al-Buyu’ Dan Ijaroh."MASTER: Jurnal Manajemen dan Bisnis Terapan, no. 2 (2023):
https://www.bing.com/ck/a?!&&p=765555eaadac6241a43e9e13059bd26 af1269dc9017de77b5b43a1c4f4bc9c80JmltdHM9MTcyNTkyNjQwMCZ pbnNpZD01MjUy&ptn=3&ver=2&hsh=4&fclid=35d44fdf-ea1b-6d61- 2f3f
5ce3eb4d6cd7&psq=pembahasan+kaidah+furu+al+umuru+bimaqashidih a+pdf&u=a1aHR0cHM6Ly9qdXJuYWxuYXNpb25hbC51bXAuYWMua WQvaW5kZXgucGhwL01BU1RFUi9hcnRpY2xlL2Rvd25sb2FkLzE1N TQ2LzY0OTM&ntb=1.
Manzur, Jamaluddin Ibnu. “Lisanu Al-’Arab”. Beirut: Dar Sadir, 1414, Juz 5. Munir, M. M. "Managing Institutes from the Perspective of the Five Major Jurisprudential Rules (Darus Salam Blok Agung Banyuwangi Institute Field Study)." “International Proceeding of The Postgraduate School, Universitas Muhammadiyah Jakarta”, 1(1), 2023.
Rusyd, Ibnu. “Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al Muqtashid terjemahan”. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Safriandi. “MAQASHID AL-SYARI’AH & MASLAHAH Kajian terhadap pemikiran Ibnu ‘Asyur dan Sa’id Ramadhan Al-Buthi”. Lhokseumawe: Safa Bumi Persada, 2021.
Shiddieqy, T. H. A., & Others. Pengantar hukum Islam. PT Bulan Bintang, 1975. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008,
Toriquddin, Moh. "Teori Maqashid Syariah Perspektif Ibnu Ashur." Ulul Albab, 14(2), 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar