Rabu, 13 November 2024

KAIDAH AL-UMURU BI MAQOSHIDIHA SEBAGAI LANDASAN PEMIKIRAN FIKIH

Kata kunci: Niat, Kaidah Fiqh, Amal


PENDAHULUAN 

Latar Belakang  

Dalam khazanah keilmuan Islam, fiqh menempati posisi yang sangat  penting sebagai pedoman praktis bagi umat Muslim dalam menjalankan ibadah  dan muamalah sehari-hari. Dalam memudahkan penerapan hukum Islam dalam  berbagai situasi, para ulama telah merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berfungsi  sebagai prinsip umum dalam pengambilan keputusan hukum. Salah satu kaidah  fiqh yang fundamental dan memiliki cakupan luas adalah "al-umuru bi  maqasidiha" yang berarti "segala perkara tergantung pada niatnya" atau "setiap  perbuatan dinilai berdasarkan maksud/tujuannya". Kaidah ini bersumber dari  hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, di mana  Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan  sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia  niatkan." (HR. Bukhari dan Muslim).  

Era modern ditandai dengan kompleksitas permasalahan dan dinamika  sosial yang terus berubah, pemahaman dan penerapan kaidah "al-umuru bi  maqasidiha" menjadi semakin relevan. Kaidah tersebut berperan sebagai landasan  etika dalam bertindak, dan juga menjadi instrumen penting dalam menganalisis  dan menetapkan hukum terhadap berbagai isu kontemporer yang belum ada  preseden historisnya pada masa Nabi dan para sahabat. 

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam tentang kaidah  fiqh "al-umuru bi maqasidiha", meliputi definisi, dasar hukum, ruang lingkup  penerapan, serta relevansinya dalam konteks kehidupan modern. Selain itu, akan  dibahas pula beberapa contoh aplikasi kaidah ini dalam berbagai bidang  kehidupan, termasuk ibadah, muamalah, dan permasalahan sosial kontemporer.  Melalui pembahasan ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang  komprehensif tentang signifikansi kaidah "al-umuru bi maqasidiha" dalam  pengembangan hukum Islam yang responsif terhadap tuntutan zaman, namun tetap  berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah.



PEMBAHASAN 

A. Kaidah Inti Muara Qawa’ide Fiqhiyyah Jalbul Mashalih wa Dar’ul  Mafasid 

جلب المصالح ودرء المفاسد  

Meskipun secara konvensional, mayoritas kompendium ushul fiqh hanya  mendelineasi lima kaidah dasar tanpa eksplisit menyebutkan kaidah ini, esensi dari kelima  kaidah dasar tersebut merupakan manifestasi dari realisasi maslahat bagi umat manusia.  Kaidah ini emerjensi sebagai hasil sintesis para cendekiawan Islam terhadap lima kaidah  dasar Ushul fikih, mengindikasikan bahwa setiap aspek formulasi hukum intrinsik terkait  dengan eksistensi maslahat di dalamnya. 

Maşlahah berasal dari kata jadian şād-lam-ha, kemudian terbentuk kata  şalaha, şaluha, şalāhan, şulûhan dan şalāhiyyatan yang bermakna baik atau  positif. Secara etimologi kata al-maşlahah, jamaknya masāliḥ berarti sesuatu yang  baik, yang bermanfaat, dan merupakan lawan dari keburukan dan kerusakan.1 Dari  beberapa arti ini dapat diambil suatu pemahaman bahwa setiap sesuatu atau apa  saja yang mengandung manfaat didalamnya baik untuk memperoleh kemanfaatan,  kebaikan, maupun untuk menolak kemudaratan, maka semua itu bisa disebut  dengan maslahah. 

Secara etimologis, "al-mashalih" merupakan bentuk jamak dari "mashlahah",  yang bermakna kepedulian, keuntungan, kebaikan, kesejahteraan, atau maslahat.2 Dalam  konteks terminologis, konsep ini merujuk pada nilai filosofis kaidah fiqih yang  berorientasi pada usaha menciptakan kemanfaatan dan mencegah kerusakan. Ibnu Ashur  mendefinisikan mashlahah sebagai atribut kebaikan yang dihasilkan dari perbuatan  individu, yang kemanfaatannya memiliki dimensi temporal yang tidak terbatas, baik bagi  individu maupun masyarakat. Hal ini merupakan suatu imperatif yang inheren dalam  kaidah fikih. Konsensus ulama menegaskan bahwa tidak diperkenankan adanya kaidah  fikih yang muncul dengan membawa nilai filosofis yang tidak mengandung kebaikan di  dalamnya. 

Maslahah mursalah, dalam terminologi pakar ushul fiqh, merujuk pada suatu  kemaslahatan yang tidak memiliki landasan hukum eksplisit dari pembuat syariat. Tidak  terdapat dalil spesifik yang mendukung atau meniadakannya. Istilah "mursalah"  digunakan karena jenis maslahah ini tidak terikat oleh perintah maupun larangan yang  eksplisit. Ilustrasi maslahah mursalah dapat ditemukan dalam beberapa keputusan yang  diambil oleh para sahabat, seperti institusi penjara sebagai alternatif qisas, pencetakan  mata uang, pemberian hak pengelolaan tanah pertanian kepada penggarap, serta penerapan  sistem perpajakan atas tanah tersebut. Nas dan konsensus ulama menegaskan bahwa  syariah Islam mengandung hukum-hukum yang di dalamnya terkandung kemaslahatan  bagi umat manusia.3 Sebagaimana firman Allah menyatakan, 

1 Safriandi, MAQASHID AL-SYARI’AH & MASLAHAH Kajian terhadap pemikiran Ibnu ‘Asyur  dan Sa’id Ramadhan Al-Buthi (Lhokseumawe: Safa Bumi Persada,2021) 

2 https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/%D9%85%D8%B5%D9%84%D8%AD%D8%A9/

1. Maslahah dalam Al-Qur’an dan Hadist 


وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا وَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي أَلْءَاخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ


”Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami  kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab  neraka.”(Al-Baqarah 2:201) 

(Dan di antara mereka ada pula yang berdoa, "Ya Tuhan kami! Berilah  kami di dunia kebaikan), artinya nikmat, (di akhirat kebaikan) yakni surga, (dan  peliharalah kami dari siksa neraka.") yakni dengan tidak memasukinya. Ini  merupakan lukisan tentang keadaan orang-orang musyrik dan keadaan orang 

orang beriman, yang tujuannya ialah supaya kita mencari dua macam kebaikan  dunia dan akhirat, sebagaimana telah dijanjikan akan beroleh pahala dengan  firman-Nya: (Tafsir Jalalayn) 


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانِ الْخُدْرِي، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَا


Dari Abu Sa'id Sa'd bin Malik bin Sinan al-Khudri radhiyallahu 'anhu,  bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak boleh membahayakan diri sendiri  maupun orang lain." (HR. Malik dalam Al-Muwatta', Ibn Majah, dan Ahmad). 

3 Muhammad Afifudin Dimyathi. 2020. Jadawil Fusul fi ilmil Fusul. Al-Azhar: Dar-Alnbras. Hal.  32.


Hadits ini menunjukkan prinsip maslahah dalam mencegah mudarat  (bahaya) bagi diri sendiri maupun orang lain, menegaskan bahwa setiap tindakan  yang membahayakan dilarang dalam Islam. 

ِوَمَا اَرْسَلْنَكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَلَمِيْنِ

Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi  seluruh alam. (QS. Al-Anbiya’ 107) 

يَأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِى الصُّدُورٌ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنِ

Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari  Tuhanmu, penyembuh bagi sesuatu (penyakit) yang terdapat dalam dada, dan petunjuk  serta rahmat bagi orang-orang mukmin. (QS. Yunus 57) 

Dalam hal klasifikasi mashlahah yang terkandung dalam kaidah fikih, terdapat  diversitas opini di kalangan ulama. Ibnu Ashur, sebagaimana diinterpretasikan oleh Moh  Toriquddin, mengkategorikan mashlahah menjadi tiga tipologi berdasarkan aspek  pengaruhnya terhadap sustainabilitas umat: 

a. Dharuriyat: Merupakan mashlahah yang bersifat esensial bagi seluruh umat  manusia, mencakup kebutuhan fundamental setiap individu. Preservasi mashlahah jenis  ini merupakan suatu imperatif; absensinya akan mereduksi martabat manusia setara  dengan makhluk lainnya. Mashlahah ini diadopsi oleh para ulama dalam formulasi lima  kaidah utama, atau yang dikenal sebagai kaidah kulliyat khomsah, yaitu perlindungan  terhadap agama, akal, jiwa, harta, dan nasab. 

b. Hajiyyat: Merupakan tingkatan mashlahah setelah dharuriyat. Meskipun  signifikan, absensi mashlahah ini tidak mengakibatkan konsekuensi destruktif sebesar  dharuriyat. Contoh mashlahah hajiyyat adalah preservasi kehormatan. 

c. Tahsiniyyat: Jenis mashlahah yang berkaitan dengan kesempurnaan umat.  Bukan merupakan kebutuhan yang mengancam eksistensi manusia, melainkan berkaitan  dengan aspek estetika kemanusiaan. Mashlahah ini dianggap penting untuk meningkatkan  daya tarik Islam. Contohnya adalah akhlak yang baik.4 

Selain klasifikasi tersebut, analisis terhadap jenis-jenis mashlahah terus menjadi  subjek kajian ekstensif di kalangan pemikir Islam. Terdapat berbagai aspek lain yang  diklasifikasikan secara mendalam, termasuk perspektif hubungan dengan umat secara  umum, serta realisasi kebutuhan dan pencegahan kerusakan. 

4 Moh Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Ibnu Ashur, Ulul Albab Volume 14, No.2  Tahun 2013 h.197 


2. Pandangan Ulama’ Mengenai Maslahah 

a. Imam Al-Ghazali 

Menurut Imam al-Ghazālī maṣlaḥaḥ didefinisikan dengan: 

أما المصلحة فهي عبارة في األصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة ولسنا نعني به ذلك فإن جلب  المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق وصالح الخلق في تحصيل مقاصدهم لكنا نعني بالمصلحة المحافظة  على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم  ومالهم فكل ما يتضمن حفظ هذه األصول الخمسة فهو مصلحة وكل ما يفوت هذه األصول فهو مفسدة  ودفعها مصلحة 

“Al-Maṣlaḥaḥ dalam pengertian awalnya adalah menarik kemanfaatan  atau menolak mudarat (sesuatu yang menimbulkan kerugian), namun tidaklah  demikian yang kami kehendaki, karena sebab mencapai kemanfaatan dan  menafikan kemadharatan, adalah merupakan tujuan atau maksud dari makhluk,  adapun kebaikan atau kemashlahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan  mereka, akan tetapi yang kami maksudkan dengan al-Maṣlaḥaḥ adalah menjaga  atau memelihara tujuan syara’, adapun tujuan syara’ yang berhubungan dengan  makhluk ada lima, yakni: pemeliharaan atas mereka (para makhluk) terhadap  agama mereka, jiwa mereka, akal mereka, nasab atau keturunan mereka, dan  harta mereka, maka setiap sesuatu yang mengandung atau mencakup  pemeliharaan atas lima pokok dasar tersebut adalah alMaṣlaḥaḥ, dan setiap  sesuatu yang menafikan lima pokok dasar tersebut adalah mafsadah, sedangkan  jika menolaknya (sesuatu yang menafikan lima pokok dasar) adalah al Maṣlaḥaḥ.” 

Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa, pemeliharaan tujuan (maqãṣid)  syara’ yang dimaksud, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Segala  sesuatu yang mengandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima ini adalah  maṣlaḥaḥ, semua yang menghilangkannya adalah mafsadat dan menolaknya  merupakan maṣlaḥaḥ.5 

b. Husain Hamid 

Husain Hamid memberikan pengertian maṣlaḥaḥ untuk menunjukkan dua pengertian, yaitu secara ḥaqi̅qat, yang menunjukkan pengertian manfaat dan guna itu sendiri, dan secara maja̅ z menunjukkan pada sesuatu yang melahirkan dua manfaat atau gunanya, sedang yang kedua menunjukkan pada medianya6

c. Al-'Izz al-Dīn ibn Abd al-Salam 

Maṣlaḥaḥ adalah kenikmatan dan kebahagiaan serta segala jalan menuju  pada keduanya. Sedangkan mafsadah adalah rasa sakit dan kesusahan dan semua  yang menghantarkan pada keduanya7

d. Naj al-Dīn al-Ṭūfī  

Mendefinisikan maṣlaḥaḥ menurut pandangan ‘urf (pemahaman yang  berlaku di masyarakat) dengan sebab yang mendatangkan kebaikan atau manfaat,  seperti transaksi perdagangan yang menghasilkan atau mendatangkan laba8

5 Safriandi, MAQASHID AL-SYARI’AH & MASLAHAH Kajian terhadap pemikiran Ibnu ‘Asyur  dan Sa’id Ramadhan Al-Buthi (Lhokseumawe: Safa Bumi Persada,2021)

6Husein Hamid Hasan, Nazariyah al-Maṣlaḥaḥ fi al-Fiqh al-Islami (Kairo: al-Mutabbi, 1981) 

7Izz ad-Dīn Abd 'Aziz Ibn 'Abd as-Salam, Qawā'id al-Aḥkām fi Maṣālih al-Anām, cet.1, 1999 M,  (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah) 

8 Najmuddin al-Ṭûfī, Kitab al-Ta’yīn Fi Syarh al-Arba’īn, (Beirut Libanon: Mu’assasah al-Rayyan  al-Maktabah al-Malikiyyah, 1998) 

B. Al-Umuru bi Maqasidiha dan Niat secara Etimologis dan Terminologis

Prinsip "Al-umuru bimaqashidiha" merupakan pondasi fundamental yang  mencakup spektrum luas dalam ajaran Islam. Kaidah ini tidak hanya berkaitan  dengan tindakan fisik, tetapi juga meliputi aspek verbal dari perilaku manusia.  Esensinya terletak pada keselarasan antara suatu kejadian atau tindakan dengan  intensi yang mendasarinya. Dalam konteks ini, niat yang bersemayam dalam  sanubari seseorang saat melakukan suatu perbuatan menjadi faktor krusial dalam  menentukan bobot moral dan kedudukan hukum dari tindakan tersebut.9 Kaidah "al-umuru bimaqashidiha" memiliki signifikansi fundamental  dalam jurisprudensi Islam. Secara etimologis, "al-umur" mengacu pada keadaan,  kebutuhan, peristiwa, dan perbuatan, sementara "al-maqashid" merujuk pada  maksud atau tujuan. Dalam konteks terminologi, kaidah ini menekankan bahwa perbuatan dan tindakan mukallaf, baik verbal maupun non-verbal, dinilai  berdasarkan hukum syara' sesuai dengan intensi yang mendasarinya.10 Mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah sebagai prinsip umum yang  berlaku atas hukum-hukum partikular. Konsep niat, yang integral dengan kaidah  ini, memiliki beragam interpretasi di antara mazhab-mazhab Islam. Mazhab Syafi'i  mendefinisikan niat sebagai intensi untuk melakukan suatu tindakan yang diikuti  dengan implementasinya. Sementara itu, mazhab Hanbali menempatkan niat  dalam domain hati, mengargumentasikan bahwa ia merupakan manifestasi dari  maksud yang bersifat internal. Al-Baihaqi mengklasifikasikan aktivitas manusia ke dalam tiga kategori berdasarkan sumbernya: hati, lisan, dan anggota tubuh  lainnya. Dalam hierarki ini, niat yang berasal dari hati dianggap paling esensial  karena potensinya untuk berfungsi sebagai ibadah. Niat berperan krusial sebagai  determinan kualitas dan signifikansi perbuatan individu.11 

Konsensus di antara mayoritas ulama fikih menetapkan bahwa esensi niat  adalah kesengajaan (al-qashd), yang secara intrinsik berada dalam domain hati.  Namun, mengingat kompleksitas dalam mengevaluasi niat yang bersifat internal,  para ulama merekomendasikan artikulasi verbal sebagai mekanisme fasilitasi bagi  gerakan hati. Signifikansi niat terletak pada perannya sebagai faktor determinatif  dalam menilai kualitas dan makna perbuatan seseorang. Hal ini mencakup evaluasi  apakah suatu tindakan dilakukan dengan niat memperoleh ridha Allah, sebagai  respons terhadap kebiasaan, atau bahkan dengan niat yang bersifat maleficent.  Oleh karena itu, niat harus dilandaskan pada beberapa objektif: (1) diferensiasi  antara ibadah dan kebiasaan, (2) distinsi antara perbuatan baik dan jahat, serta (3)  determinasi validitas ibadah dan diferensiasi antara ibadah wajib dan sunnah.12 

Kaidah "Al-Umuru bi Maqashidiha" memiliki landasan yang kuat dalam  sumber-sumber utama hukum Islam. Fondasi kaidah ini dapat ditelusuri dalam Al Qur'an, khususnya pada Surat Al-Bayyinah [98]: 5 yang menekankan kemurnian  ketaatan dalam ibadah, dan Surat Ali 'Imran [3]: 145 yang menggarisbawahi  hubungan antara intensi dan konsekuensi. Lebih lanjut, hadis yang diriwayatkan  oleh An-Nawawi (1277) menegaskan signifikansi niat dalam menentukan nilai  suatu perbuatan. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy dalam "Pengantar Hukum Islam"  menjelaskan bahwa kaidah "al-umūru bi niyyātihā" memiliki peran sentral dalam  interpretasi fiqh. Kaidah ini berfungsi sebagai instrumen diferensiasi antara ibadah  dan adat istiadat, seperti yang diilustrasikan dalam perbedaan antara puasa dan  diet.13 

Kedudukan niat sangat penting dalam menentukan hukum sebuah  perbuatan. Sebagai contoh, seseorang yang mengambil barang haram milik orang  lain dengan tujuan untuk menghancurkannya, maka dia dianggap tidak mencuri  dan tidak berdosa, bahkan mendapat pahala.14 Hal ini karena niatnya adalah untuk  melakukan kebaikan dengan menghancurkan barang haram. Sebaliknya, jika dia  mengambil barang tersebut dengan niat mencuri, maka perbuatannya dianggap  mencuri dan berdosa, karena niatnya adalah jahat.  

Contoh lain, seseorang yang mengambil barang temuan dengan niat untuk  memeliharanya sampai ketemu pemiliknya, maka jika barang itu rusak, dia tidak  harus mengganti. Namun jika dia mengambil dengan niat untuk memiliki, dia  harus bertanggung jawab jika barang itu rusak. Menurut al-Zarqa', ini dianggap  menggunakan hak milik orang lain secara paksa dan tidak sah.15 

Niat secara etimologi berasal dari bahasa Arab نية - ينوي - نوي yang berarti  al-qaşdu, al-hajah,16 yang berarti, maksud, tujuan, hajat. Dalam terminologi syara',  niat bermakna "al- 'azmu ala fi'li syai' taqarruban ila Allah."17 Artinya adalah keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk pendekatan kepada  Allah. Dalam terminologi yang lain, niat didefinisikan sebagai "qasdu al-syai'  muqtarinan bi fi'lih”18 terjemahan bebasnya lebih kurang adalah "kesengajaan  untuk melakukan sesuatu yang kemudian disertakan dengan tindakan hukumnya".  Ibnu Manzur dalam Lisan al-'Arab menyebutkan, niat berasal dari kata nawa  dengan masdar niyyah (dengan tasydid) atau niyah (tanpa tasydid), yang berarti  qasadahu wa i'tiqadahu, dan definisi niat menurutnya adalah al-wajhu yużhabu  fihi,19 (orientasi atau visi yang ingin dicapai). 

Dalam terminologi syara’, niat bermakna “al-‘azmu ala fi’li syai’  taqarruban ila Allah.” Artinya adalah keinginan yang kuat untuk melakukan  sesuatu sebagai bentuk pendekatan kepada Allah. Dalam terminologi yang lain,  niat didefinisikan sebagai “qasdu al-syai’ muqtarinan bi fi’lih”20 terjemahan  adalah “kesengajaan untuk melakukan sesuatu yang kemudian disertakan dengan  tindakan hukumnya”. Ibnu Manz}ur dalam Lisan al-‘Arab menyebutkan, niat  berasal dari kata nawa dengan masdar niyyah (dengan tasydid) atau niyah (tanpa  tasydid), yang berarti qasadahu wa i’tiqadahu, dan definisi niat menurutnya adalah  al-wajhu yuzhabu fihi,21 (orientasi atau visi yang ingin dicapai). 

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan niat sebagai: 1) maksud  atau tujuan suatu perbuatan; 2) kehendak (keinginan dalam hati) akan melakukan  sesuatu; 3) janji untuk melakukan sesuatu jika cita-cita atau harapan terkabul; kaul;  nazar.22 Sementara jika kata niat dikonversi ke dalam bahasa Inggris maka ia  berarti intention, plan, aim. Dari beberapa arti niat di atas, dapat disimpulkan  bahwa niat adalah maksud, tujuan, harapan, yang ingin dicapai seseorang dalam  melakukan suatu perbuatan, yang tertanam dalam hatinya, dan terimplementasi  dalam tindakannya. 


9 Al-Fakhr, & Ahmad, A. I. (2023). Ahkam al-jawar fi daw’ al-qawa’id al-fiqhiyah. Majallat  Kulliyat AlShariah Wal-Qanun Bi-Asyut, 35(7), 985–1051.

10 Munir, M. M. (2023). Managing Institutes from the Perspective of the Five Major  Jurisprudential Rules (Darus Salam Blok Agung Banyuwangi Institute-Field Study). International  Proceeding of The Postgraduate School, Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1(1), 19–36. 11 Al-Mazini. (2023). Al-athar al-fiqhi li al-qawa’id al-fiqhiyah al-kulliyah al-muta’alliqah bial talawwuth al-bi’i. Majallat Kulliyat Al-Shariah Wal-Qanun Bi-Asyut, 35(1), 198–256. 12 Azhari, A. K. (2015). Konsep Ibadah Dalam Islam. Jurnal Al-Daulah, 4(2), 244–255.

13 Shiddieqy, T. H. A. & Others. (1975). Pengantar hukum Islam. PT Bulan Bintang. 

14 Al-Zuhaili, W. (2006). Wahbah al-Zuhaili’s al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Dar al-Fikr. 

15 Al-Ghamdi, Kh. B. A. B. S. (2022). Riwayat Sahl bin Mu’ath bin Anas Al-Juhani fi kutub al Sunan. Jam’an wa tawthiqan wa dirasatan. Journal of The Iraqi University, 56(1).  https://www.iasj.net/iasj/article/246329 

16 Sa’di Abu Habib, Al-Qamus Al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan (Damaskus: Dar al-Fikri, 1988)., h.  364 

17 Sa’di Abu Habib, Al-Qamus Al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan (Damaskus: Dar al-Fikri, 1988)., h.  36

18 3 Sa’di Abu Habib, Al-Qamus Al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan (Damaskus: Dar al-Fikri, 1988).,  h. 36 

19 Jamaluddin Ibnu Manzur, Lisanu Al-’Arab (Beirut: Dar Sadir, 1414)., juz 5 h.347 20 3 Sa’di Abu Habib, Al-Qamus Al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan (Damaskus: Dar al-Fikri, 1988).,  h. 364  

21Jamaluddin Ibnu Manzur, Lisanu Al-’Arab (Beirut: Dar Sadir, 1414)., juz 5 h.347 

22 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pusat Bahasa, 2008),  h. 1074


1. Dalil Kaidah Al-Umuru bi Maqasidiha 

 Dengan sebab niat, seseorang bisa mendapatkan ganjaran pahala atau justru  terjatuh dalam perbuatan dosa, bahkan seseorang bisa dikategorikan sebagai orang  berdosa meskipun melakukan ibadah, Misalnya seseorang yang melakukan shalat,  seharusnya ia mendapatkan pahala dari ibadahnya, tapi dengan sebab niatnya ingin  dipuji oleh orang lain maka justru ia diklaim sebagai orang yang melakukan syirik.  Sebaliknya pula, seseorang akan dapat mendapatkan pahala hanya dengan berniat,  meskipun ia belum sempat melakukan suatu pekerjaan. Seperti seorang yang  berniat ingin shalat tengah malam, tapi ia tertidur sampai pagi, maka ia  mendapatkan pahala shalat malam. Dalam hadis yang diriwayatkan Nasa'i, dari  Abu Darda', Rasulullah bersabda: 

مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّيَ مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ حَتَّى يُصْبِحَ، كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى، وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ

Artinya "barang siapa yang naik ke atas tempat tidurnya dengan berniat  untuk bangun shalat pada malam hari, kemudian ia tertidur sampai pagi, maka  dicatatkan untuknya apa yang ia niatkan, sedangkan tidurnya dinilai sebagai  sedekah dari Tuhannya."23 

Dari urgensi niat tersebut, maka lahirlah kaidah-kaidah fikih yang  dirumuskan para ulama tentang kedudukan niat, Ibnu Nujaim merumuskan sebuah kaidah “لَا ثَوَابَ إِلَّا بِالنَّيَّة" tidak ada pahala kecuali dengan niat.24 Kemudian kaidah  fikih yang paling populer tentang niat adalah “الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا” “Sesuatu itu tergantung niat dan tujuannya". 

Kaidah ini merupakan kaidah dasar yang disepakati para ahli hukum Islam, berdasarkan hadits “الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا”. Tidak ada perdebatan tentang besarnya fungsi niat dalam beribadah kepada Allah. Namun, karena posisi niat ini letaknya di  dalam hati, yang menjadi permasalahan adalah dimana sebenarnya posisi dan  kedudukan niat ini ketika dihadapkan vis a vis pada kasus hukum yang lebih  dominan pada pembuktian secara empiris, bagaimana penerapannya dalam permasalahan hukum, misalnya kasus hukum tindak pidana pembunuhan,  bagaimana seorang hakim bisa membuktikan niat seorang yang membunuh,  apakah ada pengaruh sanksi hukum karena alasan niat. 


23 Al-Nasa’i, Al-Sunan Al-Kubra, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 2001), Juz 2, h. 178 

24 Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa Al-Naz}air, (Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 1999), h. 17

C. Kaidah Furu dari Al-Umuru bi Maqasidiha 

  1. ( لَا ثَوَابَ إِلَّا بِالنَّيَّة) Tidak ada pahala kecuali dengan niat

Prinsip dasar mengenai pengaruh niat terhadap nilai suatu perbuatan merupakan  landasan dari kaidah ini. Kaidah ini secara tegas menyatakan bahwa baik buruknya  sebuah tindakan semata-mata ditentukan oleh niat yang melatarbelakangi tindakan  tersebut. Dengan kata lain, tanpa adanya niat yang jelas dan tulus, sebuah  perbuatan sekecil apapun tidak akan memiliki nilai moral yang signifikan, An Nawawi menegaskan bahwa niat merupakan prasyarat mutlak untuk  mengklasifikasikan suatu perbuatan sebagai ibadah. Melalui niat, kita dapat  membedakan antara amalan yang memiliki nilai spiritual dan tindakan yang  bersifat duniawi semata.25 Ada beberapa hadist yang menguatkan hal tersebut di antaranya: 

 عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ». وفي لفظ للبخاري: «إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُ مَا نَوَى ( متفق عليه صحيح مسلم)

Artinya: Umar bin Al-Khaṭṭāb -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan:  Rasulullah bersabda,"Sesungguhnya semua amalan itu tergantung pada niatnya  dan sesungguhnya bagi setiap orang (balasan dari) apa yang diniatkannya.  Siapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu  kepada Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin  didapatkannya atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu  kepada yang diniatkannya." Dalam redaksi Bukhari: "Sesungguhnya semua  amalan itu tergantung niat-niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang  (balasan dari) apa yang diniatkannya. 

25 Iqbal Noor dan Sulaeman “Implementasi Kaidah “Al-Umuru Bimaqosidiha” Dalam  Praktek Al-Buyu’ Dan Ijaroh” MASTER: JURNAL MANAJEMEN DAN BISNIS TERAPAN,  no. 2 (2023) : 4 

https://www.bing.com/ck/a?!&&p=765555eaadac6241a43e9e13059bd26af1269dc9017de77b5b4 3a1c4f4bc9c80JmltdHM9MTcyNTkyNjQwMCZpbnNpZD01MjUy&ptn=3&ver=2&hsh=4&fcli d=35d44fdf-ea1b-6d61-2f3f 

5ce3eb4d6cd7&psq=pembahasan+kaidah+furu+al+umuru+bimaqashidiha+pdf&u=a1aHR0cHM 6Ly9qdXJuYWxuYXNpb25hbC51bXAuYWMuaWQvaW5kZXgucGhwL01BU1RFUi9hcnRpY 2xlL2Rvd25sb2FkLzE1NTQ2LzY0OTM&ntb=1 

26 Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim (Lebanon: Dar al Ktub al-Ilmiyah,  2008), 190.



Adapun contoh dari pengaplikasian kaidah tersebut yaitu Seseorang yang  berpuasa namun hanya karena ingin diet atau ikut-ikutan teman, tanpa niat untuk  menunaikan perintah Allah, maka puasanya tidak dianggap ibadah dan tidak  mendapatkan pahala. 

  1. (الأصل أن النية إذا تجردت عن العمل لا تكون مؤثرة في الأمور الدنيوية) Dasarnya adalah bahwa niat yang tidak diikuti oleh perbuatan tidak akan berpengaruh pada urusan  duniawi

Niat adalah langkah awal yang baik, tetapi tindakan adalah yang akan  mewujudkan niat tersebut menjadi kenyataan. Tanpa tindakan, niat hanyalah  sebuah harapan yang tidak akan pernah terwujud. Dalam kehidupan sehari-hari,  penting untuk menyeimbangkan niat dengan tindakan. Niat yang kuat akan  memberikan motivasi, tetapi tindakan yang konsisten akan membawa hasil yang  nyata 

Contoh : Seseorang mungkin berniat untuk belajar dengan rajin agar  mendapatkan nilai yang baik. Namun, jika niat tersebut tidak diwujudkan dalam  bentuk belajar secara teratur dan mengerjakan tugas, maka nilai yang didapatkan  tidak akan sesuai dengan harapan. 

  1. (الأصل مقارنة النية بالفعل إلا أن يتعذر أو يتعسر فتقدم ولا تتأخر) Dasarnya  adalah menyeimbangkan niat dengan perbuatan, kecuali jika sulit atau tidak mungkin,  maka niat didahulukan dan tidak ditunda

Kaidah ini menyatakan bahwa pada dasarnya, niat dalam melakukan suatu  ibadah harus sejalan dengan perbuatan ibadah itu sendiri. Niat harus ada dan  hadir saat kita melakukan ibadah. Namun, ada pengecualian pada kondisi dimana menyeimbangkan niat dengan perbuatan itu sulit atau tidak mungkin  dilakukan. Dalam kasus seperti ini, niat bisa didahulukan dan tidak perlu  dilakukan secara terus-menerus selama pelaksanaan ibadah. 

Contoh: jika kamu sedang sangat sibuk atau jauh dari rumah, niat untuk  membantu bisa dilakukan dengan cara lain, seperti mengirim pesan dukungan,  mengatur bantuan dari orang lain, atau menyisihkan waktu di kemudian hari. 

  1. (مالا يشترط التعرض له جملة وتفصيلا إذا عينه وأخطأ لم يضر) Apa yang tidak disyaratkan untuk disebutkan secara global dan detail, jika seseorang telah menunjuknya dan  terjadi kesalahan, maka tidak mengapa.

Kaidah tersebut bermaksud bahwa dalam beberapa konteks atau situasi,  tidak semua hal perlu dijelaskan secara detail atau spesifik. Jika ada sesuatu yang  tidak diwajibkan untuk dijelaskan dengan sangat mendetail, maka ketika  seseorang telah menunjukkannya dengan cara yang umum atau global dan terjadi  kesalahan kecil dalam proses tersebut, kesalahan itu tidak dianggap serius atau  penting atau ada perintah yang bersifat universal namun tidak mengatur secara  spesifik juga detail tentang bagaimana ukuran sesuatu peraturan tersebut disebut  melanggar dan ketika suatu saat ketika terjadi kesalahan kecil bisa dimaafkan 

contohnya : Misalkan kamu memberikan instruksi kepada seseorang untuk  membeli bahan makanan. Kamu hanya mengatakan "beli sayuran hijau" tanpa  menyebutkan jenis sayuran secara spesifik (misalnya, bayam atau kangkung).  Jika orang tersebut kemudian membeli jenis sayuran hijau yang berbeda dari  yang kamu maksud, kesalahan ini dianggap tidak masalah karena instruksi awal  memang tidak detail. 

  1. (مَا يُشْتَرَطَ فِيهِ التَّعْيِينِ، فَالْخَطَأَ فِيهِ مُبْطِل) Apa yang disyaratkan di dalamnya (yaitu)  penentuan (yang jelas), maka kesalahan di dalamnya membatalkan perbuatan  tersebut.  

Kalimat "Apa yang disyaratkan di dalamnya (yaitu) penentuan (yang jelas),  maka kesalahan di dalamnya membatalkan perbuatan tersebut" mengandung  makna bahwa dalam konteks tertentu, suatu tindakan atau perbuatan yang mensyaratkan penentuan atau kejelasan, akan menjadi batal atau tidak sah  apabila terjadi kesalahan dalam penentuan tersebut.hal tersebut merujuk pada  kebutuhan untuk menentukan sesuatu dengan tepat dan jelas. Contohnya bisa  berupa penentuan waktu, tempat, tujuan, atau syarat lainnya yang spesifik dalam  suatu tindakan atau kontrak. Sama halnya yang disampaikan Ibnu Rusyd barang  yang cacat atau rusak boleh dikembalikan.27 Adapun yang menjadi dasar  hukumnya yaitu 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan  (gunakan) harta-harta kamu sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan  sebagainya), kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama  suka di antara kamu, dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri.  Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani kamu. 

Contoh : Dalam hukum kontrak, jika ada syarat yang mensyaratkan  penentuan yang jelas (misalnya, spesifikasi barang yang dijual), maka jika ada  kesalahan dalam penentuan ini, kontrak bisa dianggap batal.  

  1. (ما يجب التعرض له جملة ولايشترط تعيينه تفصيلا إذا عينه وأخطأ ضر) Apa yang wajib disebutkan secara umum dan tidak disyaratkan penentuannya secara terperinci,  jika seseorang telah menentukannya namun keliru, maka tidak mengapa.

Kaidah ini merujuk pada prinsip dalam hukum atau aturan yang mengatur bahwa  jika ada sesuatu yang biasanya tidak perlu dijelaskan secara rinci (karena cukup  disebutkan secara umum), maka jika seseorang mencoba menjelaskan secara  rinci tetapi membuat kesalahan, itu tidak dianggap sebagai masalah besar. 

Contohnya : Dalam kontrak atau perjanjian, ada hal-hal yang cukup dijelaskan  secara umum, seperti "Barang harus dikirim tepat waktu." Jika seseorang  mencoba menjelaskan lebih detail kapan waktu pengiriman yang tepat, tetapi ada kesalahan dalam detail waktu tersebut, itu mungkin tidak mengubah kewajiban  utama untuk mengirim barang tepat waktu. 

27 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al Muqtashid terjemahan, (Jakarta: Pustaka  Azzam,2007), 335

  1. (مقاصد اللفظ على نية اللافظ إلا فى موضع واحد وهو اليمين عند القاضي فإنها على نية القاضي) Niat dalam sumpah itu mengkhususkan lafaz umum dan tidak menggeneralisasi lafaz khusus.

Ketika seseorang mengucapkan sumpah, niat yang terkandung di dalamnya  menjadi sangat penting. Niat ini berfungsi untuk mengikat diri pada suatu janji  atau komitmen. Dalam konteks sumpah, terdapat prinsip penting yaitu  pengkhususan lafaz umum dan tidak menggeneralisasi lafaz khusus. yang artinya  dari lafadz umum jika seseorang mengucapkan sumpah dengan lafaz yang  umum, maka niatnya harus dikhususkan pada hal yang ingin diikat sumpahnya.  Misalnya, jika seseorang berkata, "Demi Allah, saya akan berbuat baik," maka  niatnya harus dikhususkan pada perbuatan baik apa yang akan dilakukan dan arti  dari jika seseorang mengucapkan sumpah dengan lafaz yang khusus, maka  niatnya tidak boleh digeneralisasi. 

Contohnya: Misalnya, jika seseorang berkata, "Demi Allah, saya akan  sholat lima waktu," maka niatnya tidak boleh diartikan sebagai sholat yang asal asalan atau tidak khusyuk. 

  1. (مقاصد اللفظ على نية الالفظ إَل فى موضع واحد وهو اليمين عند القاضي فإنها على نية القاضي) Maksud dari suatu ucapan itu bergantung pada niat orang yang mengucapkan,  kecuali dalam satu hal, yaitu sumpah di hadapan hakim, maka sumpah itu  bergantung pada niat hakim. 

ini menjelaskan tentang bagaimana niat mempengaruhi interpretasi ucapan  seseorang, dengan pengecualian khusus ketika sumpah diucapkan di hadapan  hakim. Yakni yang dimaksud dengan maksud bergantung pada niat orang yang  mengucapkan maka secara umum, maksud dari suatu ucapan biasanya  bergantung pada niat atau tujuan orang yang mengucapkan. Misalnya, jika  seseorang berbicara atau berjanji, apa yang dia maksudkan tergantung pada apa  yang dia niatkan dalam hatinya. Niat adalah penentu utama apakah ucapan itu  serius, bercanda, atau memiliki arti tertentu. Dan yang dimaksud dengan kecuali 


dalam satu hal, yaitu sumpah di hadapan hakim, maka sumpah itu bergantung  pada niat hakim yaitu dalam situasi ini, interpretasi dari sumpah tidak semata mata bergantung pada niat orang yang bersumpah. Sebaliknya, niat hakim  menjadi faktor yang menentukan. Artinya, bagaimana sumpah tersebut dipahami  atau diinterpretasikan akan mengikuti apa yang hakim niatkan atau maksudkan  dalam proses pengambilan sumpah. Hakim mungkin memiliki niat tertentu  terkait klarifikasi, konteks, atau tujuan hukum dari sumpah tersebut, dan itulah  yang menjadi dasar penilaiannya. 

Contohnya : Misalnya, seorang saksi diminta bersumpah untuk  mengatakan yang sebenarnya. Jika saksi tersebut memiliki niat pribadi yang  berbeda (misalnya, ingin menyelamatkan seseorang), niat itu tidak menjadi fokus  utama dan Hakim mungkin memiliki niat untuk memastikan kebenaran yang  spesifik dari kesaksian itu. Oleh karena itu, sumpah saksi akan diinterpretasikan  berdasarkan niat dan arahan dari hakim, bukan niat saksi. 

  1. (العبرة فى العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني) Inti dalam perjanjian adalah tujuan dan maksud, bukan hanya kata-kata dan bentuk kalimatnya. 

Kaidah tersebut menekankan pentingnya memahami esensi atau niat  sebenarnya di balik suatu perjanjian daripada sekadar berfokus pada kata-kata  atau bahasa yang digunakan dalam teks perjanjian tersebut. Hal ini berarti bahwa  untuk menilai atau menafsirkan sebuah perjanjian, kita harus memperhatikan  tujuan utama dan maksud dari para pihak yang membuat perjanjian itu, bukan  hanya terjebak pada formulasi kata-kata yang mungkin ambigu atau kurang jelas.  dan dalam setiap perjanjian, yang paling utama adalah memahami apa yang  sebenarnya disepakati oleh para pihak, yaitu tujuan dan maksud dari perjanjian  tersebut. Sehingga, berfokus pada tujuan dan maksud tersebut kita dapat  menghindari kesalahpahaman yang mungkin timbul akibat bahasa yang  digunakan 

Contohnya : Dalam kontrak kerja disebutkan pekerja akan melakukan  tugas tambahan bila diperlukan dan adapun tujuannya sebenarnya bisa jadi untuk  memastikan fleksibilitas pekerjaan dan tugas tambahan yang wajar. Maka, jika atasan meminta tugas yang sama sekali tidak sesuai dengan pekerjaan inti atau  terlalu berat dibanding dengan pekerjaan awal, maka tujuan dan maksud  (fleksibilitas dalam lingkup tugas yang wajar) akan menjadi pertimbangan  utama. 

  1. (تفتقر إلى النية لا لتروك) meninggalkan sesuatu tidak perlu menggunakan niat  khusus.

Kalimat ini merujuk pada konsep bahwa dalam konteks tertentu, tindakan  untuk menghindari atau meninggalkan sesuatu tidak selalu memerlukan niat  khusus atau maksud yang mendalam. Dengan kata lain, jika seseorang  menghindari atau tidak melakukan sesuatu, itu tidak perlu disertai dengan niat  khusus; cukup dengan meninggalkan atau menghindarinya sudah mencukupi. Contohnya: ketika seseorang ingin meninggalkan waktu tidur siangnya maka dia  tidak perlu menggunakan niat khusus. 

  1. (الصريح لا يحتاج إلى النية والكناية لا تلزم إلا بالنية) Ungkapan yang jelas tidak memerlukan niat, sementara ungkapan yang kiasan hanya berlaku dengan niat.

Kalimat ini menggarisbawahi pentingnya membedakan antara pernyataan  yang jelas dan pernyataan yang kiasan dalam hal interpretasi. Ungkapan yang  jelas tidak memerlukan niat tambahan untuk pemahaman, sementara ungkapan  kiasan memerlukan niat dan konteks tambahan untuk menafsirkan makna  sebenarnya. 

Contohnya : "Dia memiliki tangan yang panjang di perusahaan ini." Untuk  memahami maksud dari ungkapan ini, kita perlu mengetahui niat di baliknya,  apakah itu berarti seseorang memiliki pengaruh besar atau posisi tinggi dalam  perusahaan.




KESIMPULAN 

Kaidah fiqh "al-umuru bi maqasidiha" adalah satu prinsip fundamental  dalam hukum Islam yang menekankan pentingnya niat dan tujuan dalam setiap  tindakan. Secara lughawi, kaidah ini berarti "segala perkara tergantung pada  maksudnya", sedangkan secara istilahi, ia mengandung makna bahwa hukum  syariat terhadap suatu perbuatan sangat bergantung pada niat dan tujuan  pelakunya. Landasan utama kaidah ini berasal dari hadits Nabi Muhammad SAW  yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab. 

Analisis terhadap dalil kaidah ini mengungkapkan bahwa niat dalam  perspektif syariah didefinisikan sebagai kehendak hati untuk melakukan suatu  perbuatan dengan tujuan tertentu. Kedudukan niat sangat penting dalam ibadah  dan muamalah, bahkan menjadi syarat sah untuk beberapa jenis ibadah. Hubungan  yang erat antara niat dan amal perbuatan dalam penetapan hukum Islam  menunjukkan bahwa niat dapat mempengaruhi status hukum suatu perbuatan,  menegaskan fleksibilitas dan kedalaman hukum Islam dalam memahami tindakan  manusia. 

Dari kaidah utama ini, lahir beberapa kaidah cabang (furu') yang memiliki  relevansi signifikan dalam konteks kehidupan kontemporer. Kaidah-kaidah seperti  "la stawaba illa bi niyat" memperluas aplikasi prinsip ini ke berbagai aspek  kehidupan, mulai dari interpretasi kontrak hingga evaluasi sarana yang digunakan  untuk mencapai tujuan tertentu. Penerapan kaidah "al-umuru bi maqasidiha" dan  kaidah-kaidah turunannya memiliki implikasi luas dalam berbagai aspek  kehidupan Muslim kontemporer. Kaidah ini memberikan fleksibilitas dalam  penerapan hukum Islam, yang penting dalam menghadapi kompleksitas persoalan  modern.




DAFTAR PUSTAKA 

Afifudin Dimyathi, Muhammad. Jadawil Fusul fi ilmil Fusul. Al-Azhar: Dar Alnbras, 2020.  

Al-Fakhr, & Ahmad, A. I. "Ahkam al-jawar fi daw’ al-qawa’id al-fiqhiyah."  Majallat Kulliyat Al-Shariah Wal-Qanun Bi-Asyut, 35(7), 2023. Al-Ghamdi, Kh. B. A. B. S. "Riwayat Sahl bin Mu’ath bin Anas Al-Juhani fi kutub  al-Sunan. Jam’an wa tawthiqan wa dirasatan." Journal of The Iraqi  University, 56(1), 2022. https://www.iasj.net/iasj/article/246329. Al-Mazini. "Al-athar al-fiqhi li al-qawa’id al-fiqhiyah al-kulliyah al-muta’alliqah  bial-talawwuth al-bi’i." Majallat Kulliyat Al-Shariah Wal-Qanun Bi Asyut, 35(1), 2023. 

Al-Nasa’i. Al-Sunan Al-Kubra. Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2001. Juz 2. Al-Ṭûfī, Najmuddin. Kitab al-Ta’yīn Fi Syarh al-Arba’īn. Beirut: Mu’assasah al Rayyan al-Maktabah al-Malikiyyah, 1998. 

Al-Zuhaili, W. Wahbah al-Zuhaili’s al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Dar al-Fikr,  2006. 

Azhari, A. K. "Konsep Ibadah Dalam Islam." Jurnal Al-Daulah, 4(2), 2015. Habib, Sa’di Abu. Al-Qamus Al-Fiqhi Lughotan wa Istilahan. Damaskus: Dar al Fikri, 1988. 

Hasan, Husein Hamid. Naz̄ariyah al-Maṣlaḥaḥ fi al-Fiqh al-Islami. Kairo: al Mutabbi, 1981. 

https://www.almaany.com/id/dict/arid/%D9%85%D8%B5%D9%84%D8% AD%A9/

Ibnu Manzur, Jamaluddin. Lisanu Al-’Arab. Beirut: Dar Sadir, 1414, Juz 5. Ibnu Nujaim. Al-Asybah wa Al-Nazair. Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 1999. Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajjaj. Shahih Muslim. Lebanon: Dar al Ktub  al-Ilmiyah, 2008. 

Iqbal, Noor dan Sulaeman. "Implementasi Kaidah 'Al-Umuru Bimaqosidiha'  Dalam Praktek Al-Buyu’ Dan Ijaroh."MASTER: Jurnal Manajemen dan  Bisnis Terapan, no. 2 (2023):

https://www.bing.com/ck/a?!&&p=765555eaadac6241a43e9e13059bd26 af1269dc9017de77b5b43a1c4f4bc9c80JmltdHM9MTcyNTkyNjQwMCZ pbnNpZD01MjUy&ptn=3&ver=2&hsh=4&fclid=35d44fdf-ea1b-6d61- 2f3f 

5ce3eb4d6cd7&psq=pembahasan+kaidah+furu+al+umuru+bimaqashidih a+pdf&u=a1aHR0cHM6Ly9qdXJuYWxuYXNpb25hbC51bXAuYWMua WQvaW5kZXgucGhwL01BU1RFUi9hcnRpY2xlL2Rvd25sb2FkLzE1N TQ2LzY0OTM&ntb=1

Manzur, Jamaluddin Ibnu. “Lisanu Al-’Arab”. Beirut: Dar Sadir, 1414, Juz 5. Munir, M. M. "Managing Institutes from the Perspective of the Five Major  Jurisprudential Rules (Darus Salam Blok Agung Banyuwangi Institute Field Study)." “International Proceeding of The Postgraduate School,  Universitas Muhammadiyah Jakarta”, 1(1), 2023. 

Rusyd, Ibnu. “Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al Muqtashid terjemahan”. Jakarta:  Pustaka Azzam, 2007. 

Safriandi. “MAQASHID AL-SYARI’AH & MASLAHAH Kajian terhadap  pemikiran Ibnu ‘Asyur dan Sa’id Ramadhan Al-Buthi”. Lhokseumawe:  Safa Bumi Persada, 2021. 

Shiddieqy, T. H. A., & Others. Pengantar hukum Islam. PT Bulan Bintang, 1975. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:  Pusat Bahasa, 2008,  

Toriquddin, Moh. "Teori Maqashid Syariah Perspektif Ibnu Ashur." Ulul Albab,  14(2), 2013.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Etika Digital dalam Perspektif Hadis: Panduan Berinteraksi di Era Media Sosial Oleh : M. Khoirul Irfan Albazuri Tulisan ini disusun gu...