PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imam al-Qarafi Seorang ahli hukum Islam bermadzhab malikiyah membagi dasar-dasar penetapan hukum Islam (ushul asy-syariah) menjadi dua bagian, Pertama, ushul fiqh,. Kedua, qawaid fiqhiyah, yaitu sesuatu yang global/ universal yang dapat mencakup beberapa particular sehingga diketahui hukum-hukum yang khusus, maksudnya kaidah-kaidah yang mencakup sebagian besar cabang permasalahan fiqh yang dapat dipedomani dalam penyelesaian hukum pelbagai peristiwa kehidupan sehari-hari dalam bentuk pernyataan yang sederhana sebagai panduan bagi kepentingan umum.1
Dalam pembahasan qawaid fiqhiyah diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu qaidah asasiyah, dan kaidah ghairu asasiyah. Kaidah asasiyah merupakan kaidah yang semula merupakan hadis nabi kemudian dijadikan para ahli fikih menjadi kaidah fiqh dan disepakati oleh imam madzhab tanpa diperselisihkan yang cakupanya sangat luas bahkan tidak terhingga, kekuatanya menempati rukun fiqh Islam seperti lima kaidah pokok alqawa’id al-khamsah.2 Salah satu dari qawaid al-khamsah adalah kaidah al-yaqinu la yuzalu bi al-syak yang merupakan suatu kaidah agung yang didalamnya mencakup hampir seluruh permasalahan fiqih.
Qâ’idah tentang keyakinan merupakan pondasi syara’ yang kokoh, di dalamnya termuat banyak hukum fiqh yang bermuara pada pemantapan keyakinan dan penghilangan keragu-raguan. Qâ‟idah ini dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam masalah bersuci dan shalat. Sehingga perlu dipelajari dan dibahas lebih dalam tentang makna, dalil, dan contoh kasus penerapan hukumnya yang akan dibahas pada makalah ini.
1 Duski Ibrahim. "Al-QawaId Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih)." (Palembang: Noerfikri, 2019), 10. 2 Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, cet. ke-III, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), 275
PEMBAHASAN
A. Makna Kaidah Al-Yaqinu la Yuzalu bi al-Syak Menurut Etimologis dan Terminologis
اليقين ال يزال بالشك
Artinya : “Sesuatu yang meyakinkan tidak dapat hilang hanya dengan keraguan”
Kaidah ini memiliki makna yaitu semua hukum yang sudah berlandaskan pada suatu keyakinan, itu tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keraguraguan yang muncul kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan, tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya.3
Secara etimologi kata al-yaqin memiliki arti “menetap”, menurut al-Jauhari , al-yaqin secara bahasa berarti mengetahui dan hilangnya keraguan, seperti dalam lafadz yaqanat, tayaqanat (تيقنت,يقنت) semuanya memiliki makna mengetahui atau menghilangkan keraguan.4 Sedangkan menurut Abu al-Baqa’ al-yaqin (اليقين) berarti iktikad kuat, menetap, dan sesuai kenyataan. Sementara menurut al-Asfahani al-yaqin (اليقين) adalah tenangnya pemahaman bersama tetapnya hukum.5
Yakin merupakan sifat yang lebih tinggi daripada ma’rifat sejalan dengan istilah ilmu al-yakin bukan ma’rifat al-yakin. Ilmu al-yakin sendiri berarti ilmu yang tidak ada keraguan lagi. Adapula yang mengartikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.6
Ada beberapa pendapat lain dalam mengartikan al-yaqin (اليقين), yaitu ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati, sehingga tidak ada keraguan dalam tentang hakikat tersebut, dan al-yaqin (اليقين) adalah pengetahuan yang menetap di hati yang ada karan sebab-sebab tertentu dan tidak bisa dirusak.
Sedangkan secara terminologi al-yaqin (اليقين) memiliki arti:
هو ما كان ثابتا بالنظر أو الدليل
Artinya: “Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan panca indera atau dengan adanya dalil”.
Makna kata al-syak (الشك) secara etimologis berarti menyambung dan melekat. Menurut al-Hamawy, al-syak (الشك) secara bahasa berarti ragu, sedangkan secara terminologi menurut ulama ushul, yaitu berhenti (tidak bisa menentukan) diantara dua perkara, dan hati tidak condong diantara salah satunya.7 Artinya sesuatu yang masih membingungkan/ tidak menentu antara iya atau tidak karena keduanya saling berlawanan tanpa dapat dimenangkan salah satunya, jika keduanya tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut al-dzan dan yang lemah disebut salah duga (al-wahm).
Maksud keraguan disini bukan al-syak yang terjadi di dalam dalil dalil syariah, akan tetapi timbulnya keraguan disebabkan pribadi seorang mukallaf atas perbuatanya. Menurut pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa di dalam syariah tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya keraguan (syak) itu datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena kontradiksinya dua indikator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya (mukallaf). Mungkin bagi orang lain (mukallaf lain) masalah tersebut tidaklah meragukan. Oleh karena itu, syak bukanlah sifat yang tetap pada masalah tersebut, tetapi sifat yang datang kemudian ketika masalah tersebut dihubungkan kepada hukum mukallaf.8
Fuqaha lain merumuskan definisi al-syak (الشك) dan dirumuskannya seperti pengertian berikut:
هو ما كان نمترددا بينا الثبوت وعدمهم عتسا وطرفا الصواب والخطأ دون ترجيح أحدهما على الاخر.
Artinya: Sesuatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya atas yang lain.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah tercapainya suatu kemantapan hati pada suatu objek yang telah dikerjakan, baik kemantapan hati itu sudah mencapai pada kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau baru sekedar dugaan kuat (asumtif/dzan). Makanya tidak dianggap suatu kemantapan hati yang disertai dengan keragu raguan pada saat pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukkan kedalam kategori yakin. Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya, tidak dapat disejajarkan dengan suatu hal yang sudah diyakini.9
3 Mif Rohim, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah, (joombang: LPPM UNHASY tebuireng) h. 62
4 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004), h. 48.
5 Abbas, Qawaid.., (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004) h. 49.
6 Ahmad al-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyah, cet. V, (Beirut: Darul Qalam, 1998), hlm. 358.
7ibid., h. 54.
8 Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Beirut: Darul Qalam, 2000), hlm. 364
9 H. Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010), hlm. 76.
B. Perbedaan Yakin, Syak, Dzan, dan Wahm.
Setelah dijelaskan pengertian yakin dan syak, terdapat istilah lain yang berkaitan dengan kaidah ini, yaitu dzan, dan wahm. Dzan menurut bahasa adalah persangkaan kuat/ dugaan kuat, jika condong kepada yang kuat/ rajih. Menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan alHamawi dalam Syarh al-Asybah, dzan ialah seseorang yang berada di antara dua perkara yang mana ia dapat menguatkan atau dapat mentarjihkan salah satu di antara keduanya.
Sedangkan wahm menurut bahasa adalah persangkaan lemah/ dugaan lemah/ keliru, jika condong padayang marjuh/ lemah. . Menurut istilah wahm ialah suatu keraguan pada diri seseorang terhadap suatu perkara dengan persangkaan yang lemah atau salah. Keraguan pada tingkat wahm ini tidak diterima dalam hukum fiqh.10
Sehingga yakin merupakan kecondongan kuat berdasarkan dalil dan dapat diterima oleh hukum, sedangkan dzan adalah persangkaan kuat, wahm keragu-raguan, dan wahn adalah persangkaan lemah yang tidak dapat dijadikan hukum. al-Imam Abu Hamid al Isfirayaini membagi keragu-raguan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Keragu-raguan yang berasal dari haram. Misalnya ada seekor kambing yang disembelih di daerah yang berpenduduk campuran antara muslim dan majusi, maka sembelihan itu haram dimakan, karena pada dasarnya hal tersebut haram, sehingga diketahui bahwa umumnya yang menyembelih adalah seorang muslim atau diketahui bahwa memang yang menyembelih itu benar-benar orang Islam.
2. Keragu-raguan yang berasal dari mubah. Misalnya ada air yang berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkin pula disebabkan karena terlalu lama tergenang. Maka air tersebut dapat dijadikan untuk bersuci, sebab pada dasarnya air itu suci.
3. Keragu-raguan yang tidak diketahui asalnya. Misalnya seseorang bekerja dengan orang yang modalnya sebagian besar haram. Dan tidak dapat dibedakan antara modal yang haram dan yang halal. Maka keadaan yang seperti ini diperbolehkan jual beli karena dimungkinkan modalnya halal dan belum jelas keharaman modal tersebut, namun dikhawatirkan karena hukumnya makruh.
10 Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami,(Pustaka Al-Furqon, 2009), hlm. 27
C. Dasar dalil kaidah
Kaidah al-yaqinu la yuzalu bi al-syak, berdasarkan dalil-dalil atau nas syar’i yang terdapat dalam al-qur’an dan hadits.
1. Al-Qur’an
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنَّأُ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْأُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ ۚ بِمَا يَفْعَلُوْنَ
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36).
2. Hadits
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُ جَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِد رِيحًا.
Artinya: “Apabila seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya.”(HR. Muslim)
إِذَا شَكٍّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحَ الشَّكَ وَلْيَيْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَن
“Apabila seseorang ragu mengerjakan shalat, dia lupa berapa rakaat dia melaksanakan shalatnya, apakah telah tiga rakaat atau empat rakaat. Maka hilangkanlah keraguannya (empat rakaat) dan tetaplah dengan apa yang diyakini." (HR. Tirmidzi).
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
"Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu." (HR. al-Nasa'i).
Hadis-hadis ini tidak hanya berlaku pada persoalan-persoalan thaharah dan shalat saja, melainkan juga berlaku pada semua persoalan fiqh yang memilki titik persamaan dengan permasalahan yang termuat dalam hadis-hadis tersebut, yaitu dengan jalan menganalogikannya (qiyas).
Materi-materi fiqh yang terkandung dalam qâ’idah al-yaqinu la yuzalu bi al-syak ِtidak kurang dari 314 masalah fiqh. Mazhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah mazhab Maliki dan sebagian fuqaha Syafi‘iyah, karena mereka menerapkan konsep ihtiyathnya. Menurut mereka, bahwa dalam ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin, sedangkan kepastian dan kepuasan batin hanya dapat dicapai dengan ihtiyath (kehati-hatian).
Ulama Malikiyah beralasan, ―Seseorang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan melaksanakannya secara benar dan meyakiankan, seperti: shalat yang sah hanya bisa dilaksanakan dengan didahului oleh wudhu yang sah, bukan dengan wudhu yang meragukan tentang apakah sudah batal atau belumnya wudhu tadi. Terhadap persoalan ini, fuqaha Hanafiyah mengomentari hal ini dengan jawaban, Shalat itu merupakan tujuan (maqâshid), sedangkan wudhu merupakan wasilah (syarat sah shalat), bersikap ihtiyath di dalam memelihara maqâshid lebih utama daripada ihtiyath dalam washilah, karena washilah tingkatannya lebih rendah daripada maqâshid (media lebih rendah dari tujuan).11
11 Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2005)h. 45-46
D. kaidah-Kaidah furu’ اليقين ال يزال بالشك
- الأصل بقاء ما كان على ما كان
Dalam hadits nabi s.a.w. menyebutkan
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا، فَلا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya: "Jika salah seorang di antara kalian merasakan sesuatu di dalam perutnya dan ia ragu apakah keluar sesuatu (kentut) atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan salat) sampai ia mendengar suara atau mencium baunya." (HR. Muslim, No. 362)
Contoh kaidah ini adalah apabila Seseorang yang yakin bahwa dirinya dalam keadaan suci (tidak berhadats) kemudian muncul dalam benaknya keraguan apakah ia telah berhadats ataukah belum, maka asalnya ia masih dalam keadaaan suci, sampai ia yakin bahwa ia memang telah berhadats. Demikian pula, seseorang yang yakin bahwa ia dalam keadaan berhadats kemudian ragu-ragu apakah ia sudah bersuci ataukah belum maka asalnya ia tetap dalam keadaan berhadats.13
Contoh lain dari kaidah ini adalah seseorang yang makan pada akhir siang hari (menjelang maghrib)dan dia meragukan apakah sudah terbenam matahari atau tidak. Puasanya batal karena yang menjadi al Ashlu adalah tetapnya siang. Jika ada yang makan pada waktu akhir malam sedangkan dia meragukan terbitnya fajar, puasanya tetap sah. Sebab al-ashlu adalah tetapnya malam.14
12 Muhammad Harfin Zuhdi, Qawâ’id Fiqhiyyah ( Mataram: Institut Agama Islam Negeri (IAIN),2016 ), 113.
13https://almanhaj.or.id/2510-kaidah-ke-11-hukum-asal-segala-sesuatu-adalah-tetap-dalam-keadaannya-se mula.html
14 Thalhah, KAIDAH FIQHIYAH FURU’IYAH: PENERAPANNYA PADA ISU KONTEMPORER, Jurnal Tahkim Vol. X No. 1, Juni 2014
الأصل براءة الذمة
15 Muhammad Harfin Zuhdi, Qawâ’id Fiqhiyyah hal.117
من شك أفعل شيئا أم لا فالأصل أنه لم يفعل
Artinya: “ Barangsiapa yang ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka menurut asalnya ia dianggap tidak melakukannya”
Maksud dari kaidah ini adalah, jika seseorang merasa ragu apakah ia sudah melakukan suatu pekerjaan atau belum, maka menurut kaidah ini, orang tersebut dianggap belum melakukan pekerjaan tersebut.
Contoh dari kaidah ini Jika seseorang ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum, maka yang dianggap benar adalah bahwa ia belum berwudhu. Hal ini karena keadaan belum berwudhu adalah kondisi asal, di mana manusia pada dasarnya tidak terikat kewajiban, sedangkan berwudhu merupakan salah satu bentuk kewajiban yang harus dipenuhi.16
16 Imam Musbikin, Qawaid Fiqhiyah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hal.63
من تيقن الفعل وشك فى القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه المتيقن
Artinya: “Barangsiapa yang yakin melakukan pekerjaan tetapi ragu-ragu tentang sedikit banyaknya perbuatan, maka yang dianggap adalah yang sedikit karena hal itu yang meyakinkan”.
Kaidah ini terkait dengan prinsip bahwa keyakinan lebih kuat daripada keraguan dalam hukum Islam. Apabila seseorang yakin telah melakukan suatu tindakan, namun tidak yakin mengenai jumlah atau ukurannya, maka yang dianggap adalah jumlah yang lebih kecil, karena itu yang dapat dipastikan. Keraguan mengenai jumlah yang lebih besar tidak dapat mempengaruhi hukum, sebab yang kecil adalah yang sudah diyakini kebenarannya.
Contoh dari kaidah ini adalah apabila seseorang ragu mengenai jumlah rakaat dalam shalat,apakah ia telah melaksanakan tiga rakaat atau empat rakaat,maka yang dianggap adalah tiga rakaat, karena tiga rakaat adalah yang pasti. Jumlah empat rakaat belum tentu dilakukan, dan untuk mencapai empat rakaat, seseorang harus melewati tiga rakaat terlebih dahulu. Oleh karena itu, tiga rakaat adalah jumlah yang dapat dipastikan.17
17Muchlis Usman, Qa‟idah-Qa‟idah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2002) 117
إن ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين
Artinya: “Sesungguhnya sesuatu yang berdasarkan keyakinan, tidak dapat dihilangkan kecuali dengan yang yakin pula”
Misalnya, dalam konteks shalat berjama‘ah, jika seorang imam ragu apakah ia sudah melaksanakan tiga rakaat atau empat rakaat dalam shalat Ashar, tetapi setelah berpikir sejenak, ia meyakini bahwa baru tiga rakaat yang telah dilakukannya, maka ia berdiri untuk melanjutkan rakaat keempat. Namun, jika makmum mengingatkan imam dengan membaca "Subhanallah", hal ini menunjukkan bahwa mereka yakin bahwa rakaat yang telah dilaksanakan sudah empat. Dalam situasi ini, imam tidak boleh melanjutkan berdiri untuk rakaat keempat karena sudah ada keyakinan yang lebih kuat dari para makmum bahwa shalat telah sempurna..18
Contoh lain dari penerapan kaidah ini adalah dalam kasus seseorang yang bepergian dengan kapal laut, kemudian kapal tersebut tenggelam. Apabila kejadian tenggelamnya kapal sudah dipastikan secara nyata, maka para penumpang yang berada di dalam kapal dianggap meninggal meskipun tubuh mereka belum ditemukan. Hal ini berdasarkan dugaan kuat (zhan ghalib) bahwa seseorang tidak bisa bertahan hidup di dalam kapal yang tenggelam. Berdasarkan keyakinan ini, segala urusan yang berkaitan dengan orang yang dianggap telah meninggal, seperti status pernikahan, pembagian warisan, dan hal-hal lainnya, dapat segera diselesaikan sesuai dengan hukum syariat yang berlaku untuk orang yang sudah wafat..19
18 Muhammad Harfin Zuhdi, Qawâ’id Fiqhiyyah hal.120
19 Thalhah, KAIDAH FIQHIYAH FURU’IYAH: PENERAPANNYA PADA ISU KONTEMPORER, Jurnal Tahkim Vol. X No. 1, Juni 2014
إن ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين
“Asal dari segala hukum adalah tidak adanya beban”
Maksud dari kaidah ini yaitu apabila dalam suatu perkara terdapat keraguan yang sebelumnya tidak ada, maka hukumnya ditentukan sebagaimana asalnya atau sebelumnya dan sifat-sifat yang baru tersebut dianggap tidak ada.20
Contoh :
● Perselisihan yang terjadi antara penjual dengan pembeli mengenai barang yang dijual belikan. Pembeli mengatakan bahwa barang itu jelek dan terdapat cacat, namun penjual mengatakan bahwa barang itu bagus dan tidak terdapat cacat. Pada asalnya barang itu bagus karena masih baru sedangkan cacat adalah sifat-sifat yang datang kemudian, maka yang dibenarkan adalah perkataan penjual.
● Ketika Rania telah ditetapkan mempunyai hutang kepada Mar’ah. Lalu Rania menyatakan telah melunasi atau telah dibebaskan hutangnya oleh Mar’ah. Yang dibenarkan dalam kasus ini adalah ucapan Rania, sebab hukum asalnya tidak ada pelunasan dan pembebasan.
20 Bisri M.A, Terjemah Faraidul Bahiyyah (Risalah Qowaid Fiqh) hal 10-11
الأصل في كل حادث تقديره بأقرب زمن
“Pada dasarnya setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat”.
Maksud dari kaidah ini yaitu apabila seseorang mengalami suatu kejadian dan ada keraguan mengenai kapan peristiwa tersebut terjadi, maka hukum yang ditetapkan adalah berdasarkan waktu yang paling dekat dengan kejadian, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi Kecuali ada bukti lain yang menyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.21
Contoh :
● Seseorang melihat bekas mani pada celana yang ia pakai. Padahal ia tidak ingat bermimpi basah, maka wajib mandi besar menurut pendapat shahih. Ia juga berkewajiban mengulangi shalat-shalat yang dilakukan setelah tidurnya yang terakhir. Karena tidur terakhir itulah masa terdekat kemungkinan ia keluar sperma.
● Dalam waktu beberapa hari Mahda wudlu di sumur, kemudian melakukan shalat. Lalu ia menemukan bangkai yang menajiskan airnya. Dalam kasus ini, Mahda tidak wajib mengqadha’ sholatnya kecuali shalat yang diyakininya dengan najis tersebut.
● Nana memukul perut Ofa yang sedang hamil, lalu bayi di kandungannya lahir dalam keadaan sehat. Namun, beberapa hari kemudian si bayi meninggal. Dalam kasus ini, Nana tidak dapat dituntut pertanggungjawaban atas kematian bayi Ofa. Sebab, dimungkinkan kematiannya terjadi karena sebab selain pemukulan perut Ofa.
21 M. Hamim, Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah : Penjelasan Nadhom Al-Faraid Al-Bahiyah, Kediri, Lirboyp Press
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Segala sesuatu itu pada dasarnya boleh, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya”.
Menurut Imam Syafi’I segala sesuatu yang mempunyai manfaat adalah halal selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan hukum asal sesuatu yang membahayakan adalah haram. Oleh karena itu, segala sesuatu yang diciptakan-Nya pada dasarnya diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Namun, jika terdapat dalil yang tegas dari Al-Quran atau Sunnah yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan itu dilarang, maka hukumnya menjadi haram. Sedangkan hukum asal sesuatu yang membahayakan adalah haram. 22Beliau berpijak pada dalil berikut.
قُلْ لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يُطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِةٌ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dihukumi haram sudah ditetapkan oleh Allah. Sehingga suatu perkara yang tidak ada ketetapan haramnya dari Allah maka dihukumi halal. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah sebagai berikut.
مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَهُوَ حَلالٌ وَ مَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَّتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْو
“Apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram, sedangkan apa yang didiamkannya adalah dimaafkan.”
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasannya semua makanan yang halal dan baik untuk dikonsumsi diperbolehkan. Namun, jika ada makanan yang jelas-jelas diharamkan dalam Al-Quran, seperti daging babi atau bangkai, maka kita wajib menjauhinya. Begitu pula dalam hal perbuatan. Semua perbuatan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam pada dasarnya diperbolehkan. Namun, jika ada perbuatan yang jelas-jelas dilarang, seperti berzina atau mencuri, maka kita harus menjauhinya.
Adapun contoh kaidah ini yaitu :
● Terdapat seekor binatang yang mana kita belum mengetahui halal atau haramnya hewan tersebut untuk dikonsumsi. Maka menurut Imam Syafi’I hewan tersebut halal untuk dikonsumsi.
● Tumbuh-tumbuhan yang tidak diketahui jenis dan namanya halal hukumnya
22 M. Hamim, Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah : Penjelasan Nadhom Al-Faraid Al-Bahiyah, Kediri, Lirboyp Press
الأصل في الأشياء التحريم حتى يدل الدليل على الإباحة
“Segala sesuatu itu pada dasarnya haram, kecuali bila ada dalil yang memperbolehkannya.”
Kaidah ini merupakan kebalikan dari kaidah sebelumnya dan dipakai para pengikut madzhab Hanafi untuk memutuskan beragai macam problematika. Adapun contoh dari kaidah ini yaitu :
● Tumbuh-tumbuhan yang tidak diketahui jenis dan namanya haram hukumnya
● Hewan yang tidak diketahui secara jelas dalam syariat hukumnya haram untuk duikonsumsi.
Perbedaan antara Imam Syafi’i dan Hanafi akan tampak pada perkara yang tidak mempunyai keterangan jelas dari syariat. Seperti dalam kaidah ini menurut Imam Hanafi, asal suatu perkara adalah haram kecuali ada dalil tegas yang menghalalkannya. Alasannya, suatu pekerjaan merupakan tasharruf pada kepemilikan orang lain tanpa seizinnya dan setiap penggunaan hak milik orang lain tanpa izin adalah haram. Sedangkan, dalam kaidah sebelumnya menurut Imam Syafi’i asal segala sesuatu itu halal, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. 23
Perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Hanafi mempunyai pengecualian yakni dalam masalah farji. Dalam perkara satu ini beliau sepakat menghukuminya haram.
● Dalam sebuah desa terdapat sepuluh perempuan, yang salah satunya mempunyai hubungan mahram dengan Harun. Akan tetapi, Harun tidak mengetahui perempuan mana yang memiliki hubungan mahram dengannya. Maka menurut hukum kaidah ini, Harun tidak diperbolehkan untuk menikahi salah satu dari sepuluh perempuan tersebut.
23 M. Hamim, Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah : Penjelasan Nadhom Al-Faraid Al-Bahiyah, Kediri, Lirboyo Press
الأصل في الكلام الحقيقة
“Ucapan itu asalnya adalah haqiqah”
Maksud dari kaidah ini yaitu apabila seseorang mendapati ucapan yang bisa diartikan haqiqah dan dapat pula diartikan majaz atau kiasan, maka ucapan itu harus diartikan secara haqiqah. Kecuali jika terdapat faktor yang menetapkan ucapan itu harus diarahkan pada majaz seperti tidak mungkin diarahkan pada makna hakikatnya.24
Adapun yang dimaksud dengan hakikat pada kaidah ini ialah lafal atau kata yang digunakan sesuai maksud lafal tersebut dimunculkan pertama kalinya. Sedangkan majaz adalah penggunaan makna kedua dari asal lafal tersebut dimunculkan.
Contoh :
● Seseorang bersumpah, “Demi Allah, saya tidak akan membeli baju,” lalu ia menyuruh orang lain untuk membelikan baginya, maka menurut kaidah ini orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah. Sebab, pada hakikatnya ia tidak melakukan pembelian
● Jika seseorang mewakafkan harta pada anaknya maka cucunya tidak masuk dalam lafal tersebut, sebab hakikat anak adalah anak kandung.
● Bersumpah tidak akan membeli barang. Maka orang yang bersumpah tidak dihukumi melanggar sumpah kecuali dengan pembelian yang sah menurut syara’. Sebab hakikat pembelian menurut syara’ adalah pembelian yang sah
● Bersumpah tidak akan memakan kambing, maka dihukumi melanggar sumpah ketika memakan dagingnya, karena dagingnya merupakan hakikat kambing. Namun, ia tidak dihukumi melanggar sumpah jika memakan kulit atau meminum susunya
24 M. Hamim, Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah : Penjelasan Nadhom Al-Faraid Al-Bahiyah, Kediri, Lirboyo Press
KESIMPULAN
Kaidah اليقين ال يزال بالشك menegaskan bahwa sesuatu yang sudah pasti tidak bisa dihilangkan hanya dengan adanya keraguan. Dalam hukum Islam, sesuatu yang telah diyakini sebelumnya tidak akan berubah atau hilang oleh keraguan yang muncul kemudian.
Secara etimologis, اليقين berarti keyakinan yang pasti, sedangkan الشك berarti keraguan atau kebingungan antara dua hal yang berlawanan tanpa kepastian. Kaidah ini digunakan untuk menentukan hukum dalam berbagai situasi, termasuk ibadah dan transaksi sehari-hari. Dalam konteks fiqh, selain al-yaqin dan al-syak, ada juga istilah dzan (dugaan kuat) dan wahm (dugaan lemah). Dzan adalah prasangka yang kuat namun belum mencapai level yakin, sedangkan wahm adalah prasangka yang sangat lemah dan tidak dapat dijadikan dasar hukum. Keyakinan yang kuat berdasarkan dalil lebih diutamakan dalam penetapan hukum dibandingkan dengan keraguan atau prasangka.
Kaidah ini mengajarkan umat Islam untuk mengedepankan keyakinan dan menghindari prasangka atau keraguan yang dapat merusak kepercayaan terhadap suatu hal dalam segala aspek kehidupan, termasuk ibadah dan muamalah.
DAFTAR PUTAKA
Al-Nadawi, Ali Ahmad, (2000), al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Beirut: Darul Qalam, Bisri, M. A. (1977). Terjemah Al-Faroidul Bahiyyah [Risalah Qowaid Fiqh] (pp. 1–92).
Djazuli, A. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2005)
Ibrahim, Duski. "Al-QawaId Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih)." Palembang: Noerfikri, 2019.
Musbikin, I. ( 2001). Qawaid Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,.
Rohim, Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah, Jombang: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG
Sudirman, Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh (Jakarta: Anglo Media, 2004)
Thalhah. (2014). KAIDAH FIQHIYAH FURU’IYAH: PENERAPANNYA PADA ISU KONTEMPORER. Jurnal Tahkim Vol. X No. 1.
Usman, M. (2002). Qa‟idah-Qa‟idah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu, (2009), Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, T.T.P.: Pustaka Al-Furqon.
Zuhdi, M. H. (2016). Qawâ’id Fiqhiyyah. Mataram: Institut Islam Negeri (IAIN).
HR., M. H. (n.d.). Pengantar Kaidah Fikih Syafi’iyah : Penjelasan Nadhom Al-Faraid Al-Bahiyah. Kediri: Lirboyo Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar