Minggu, 17 November 2024

Peran Zakat dan Etos Kerja dalam Pelestarian Harta: Perspektif Hifdzul Mal dalam Islam

PEMBAHASAN

  1. Pengertian dan Karakteristik Pekerjaan Halal 

Hifz al-mal dimaknai sebagai jaminan perlindungan terhadap kepemilikan harta benda, properti, dan lainnya. Hal ini menunjukkan larangan mengambil hak orang lain secara tidak sah, seperti melalui pencurian, korupsi, atau tindakan jinayah lainnya. Karena harta termasuk dalam Maqashid Syariah, diperlukan perlindungan syariah untuk menjaga harta tersebut. Meskipun harta sejatinya milik Allah, manusia diberi hak untuk memilikinya dan diwajibkan mengelolanya dengan baik sesuai ajaran Islam. Sejalan dengan upaya pelestarian harta melalui prinsip hifdzul mal, pekerjaan halal menjadi salah satu cara penting untuk menjaga dan memanfaatkan harta secara benar sesuai dengan tuntunan syariat.

Pekerjaan halal mencakup setiap aktivitas atau usaha yang dilakukan untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Pekerjaan semacam ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan terbebas dari unsur-unsur yang diharamkan. Dalam Islam, pekerjaan bukan sekadar sarana mencari nafkah, melainkan bentuk ibadah jika dilaksanakan dengan niat yang benar dan sesuai dengan syariat. Sebagaimana dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 168:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Artinya: Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.

Allah memerintahkan manusia untuk mengonsumsi makanan yang halal, yaitu yang terbebas dari unsur haram baik dari segi zat maupun cara memperolehnya, serta yang thayyib (baik), yakni yang sehat, aman, dan tidak berlebihan. Makanan tersebut berasal dari bumi yang Allah ciptakan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Namun, Allah juga mengingatkan agar manusia tidak mengikuti langkah-langkah setan yang selalu berusaha membujuk manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah. Setan senantiasa berusaha menjerumuskan manusia melalui tipu daya agar terjerat dalam tindakan yang tidak diridhai Allah. Sebab itu, manusia harus selalu waspada, karena setan adalah musuh yang nyata bagi mereka.

Kemudian, Allah juga melarang untuk mengambil jalan yang bathil dalam memperoleh harta, sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 188:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَࣖ

Artinya: Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Allah melarang manusia untuk memakan harta sesamanya dengan cara yang batil, seperti melalui korupsi, penipuan, atau perampokan, dan juga melarang memberikan suap kepada hakim agar perbuatan jahat tersebut dilegalkan. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk dapat memiliki, menguasai, atau menggunakan sebagian harta orang lain dengan cara yang penuh dosa karena melanggar ketentuan Allah, padahal mereka mengetahui bahwa perbuatan tersebut diharamkan oleh-Nya.

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ

Artinya: Rasulullah saw. ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua pekerjaan yang baik.” (HR. Baihaqi dan Al Hakim; shahih lighairihi).

Bahkan Rasulullah SAW menyuruh agar kaum muslim bekerja secara profesional.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ 

Artinya: Dari Aisyah r.a., sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional”. (HR. Thabrani, no: 891; Baihaqi, no: 334).

Allah menjanjikan kesempatan bagi umat untuk mendapatkan rezeki yang luas, selama bekerja dengan profesionalisme dan kecerdasan, didasari oleh etos kerja yang tinggi. Islam telah memberikan panduan tentang bagaimana menerapkan etos kerja ini. Rasulullah, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam "Syu'bul Iman", mengajarkan empat prinsip utama etos kerja yang kuat. 

Pertama, bekerja harus dilakukan secara halal, sesuai dengan aturan agama, sehingga pekerjaan yang dilakukan tidak hanya memberikan penghasilan, tetapi juga mendapat ridha Allah SWT. Kedua, bekerja demi menjaga kemandirian, artinya seseorang tidak boleh menjadi beban atau benalu bagi orang lain, serta harus mampu menyesuaikan permintaan imbalan dengan kemampuan lembaga tempat bekerja, agar tidak menimbulkan ketidakadilan. Ketiga, bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, yaitu dengan mengelola rezeki yang diperoleh secara bijaksana, mengutamakan kebutuhan utama, dan menghindari perilaku boros yang dapat merugikan diri sendiri maupun keluarga. Keempat, bekerja untuk membantu sesama, sehingga setelah memperoleh rezeki yang cukup, seseorang harus peduli dengan orang lain, terutama tetangga yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, sebagai wujud dari kepedulian sosial dan tanggung jawab sebagai Muslim.

Bekerja adalah fitrah manusia dan identitas seorang Muslim yang harus dilandasi iman serta tauhid, yang meningkatkan derajat di hadapan Allah SWT. Malas atau tidak memanfaatkan potensi diri merendahkan martabat dan melawan fitrah. Seorang Muslim harus bekerja secara produktif, bukan sekadar untuk gaji atau gengsi, karena pengangguran dan kurangnya inovasi bertentangan dengan ajaran Islam.

  1. Definisi Zakat, Hukum yang Mengatur Zakat, serta Pihak-Pihak yang Berhak Menerima Zakat

Menurut bahasa, zakat berasal dari kata al-zakah dalam Bahasa arab. Kata al-zakah memiliki makna di antaranya al-numuw (tumbuh), al-ziyadah (bertambah), al-thaharah (bersih), al-madh (pujian), al-barakah (berkah) dan al-shulh (baik). Definisi zakat sebagai madah (pujian) dapat pula dilihat pada firman Allah QS. An-Najm (53) ayat 32.

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبِيرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَتِكُمْ فَلَا تُزَكُوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

Artinya: Orang-orang yang akan mendapat anugerah dan kebaikan adalah mereka yang sungguh sungguh menjauhi dosa-dosa besar yang disebut secara khusus ancamannya, dan perbuatan keji yang dicela oleh akal dan tabiat manusia. Semua itu ada hukumannya, kecuali kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan sesekali dan tanpa sengaja. Sungguh, pengampunan atas dosa kecil itu karena Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia pun akan mengampuni dosa besar bila pelakunya bertobat dengan tulus. Janganlah kamu bangga karena telah berbuat baik. Sesungguhnya Dia mengetahui tentang keadaan kamu, bahkan sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu yang berproses sesuai tahapannya. Maka dengan pengampunan dan pahala itu, janganlah kamu menganggap dirimu suci dengan memuji diri dan membanggakan amal-amalmu. Sungguh, Dia yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa dan benar-benar suci.

Menurut Ibnu Hajar Al’Asqalani, tinjauan syariat, maka itulah yang akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan pada harta dan pahala, terlebih juga, zakat itu terkait pula dengan perdagangan dan pertanian.Menurut terminologi syariat, zakat adalah ukuran tertentu dari harta yang dikeluarkan pada waktu tertentu untuk golongan tertentu. Penggunaan kata zakat dengan berbagai derivasinya di dalam alQur’an terulang sebanyak 30 kali dan 27 kali di antaranya digandengkan dengan kewajiban mendirikan salat. Di samping pemakaian kata zakat dalam berbagai ayat itu, al-Qur’an juga menggunakan kata al-sadaqah dengan makna zakat, seperti dalam surah al-Taubah (9) ayat 58, 60, dan 103. Dalam hadis Rasulullah SAW dijumpai juga kata al-sadaqah yang berarti zakat. Rasulullah SAW bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: ( أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم بَعَثَ مُعَاذًا رضي الله عنه إلَى الْيَمَنِ ) فَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ: ( أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ, فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ   وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِي

Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Mu'adz ke negeri Yaman-ia meneruskan hadits itu-dan di dalamnya (beliau bersabda): "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan mereka zakat dari bharta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka." Muttafaq Alaibi dan lafadznya menurut Bukhari”.

Ulama berbeda dalam mendefinisikan zakat. Ulama mazhab Maliki mendefinisikannya dengan: mengeluarkan bagian tertentu dari harta tertentu yang telah mencapai satu nisab bagi orang yang berhak menerimanya, dengan ketentuan harta itu milik sempurna, telah mencapai haul (satu tahun), dan bukan merupakan barang tambang. Ulama mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan: pemilikan bagian tertentu dari harta tertentu yang dimiliki seseorang berdasarkan ketetapan Allah. Definisi inipun hanya untuk zakat harta, karena pengertian’harta tertentu’ dimaksudkan sebagai harta yang telah mencapai nisab. Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan zakat sebagai sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau jiwa dengan cara tertentu. Dalam definisi ini jelas bahwa zakat yang mereka maksudkan adalah zakat harta dan zakat fitrah, karena pencantuman kata ‘harta’ dan ‘jiwa’ dalam definisi ini mengandung pengertian zakat harta dan zakat fitrah (jiwa). Ulama mazhab Hanbali mendefinisikannya dengan: hak wajib pada harta tertentu bagi (merupakan hak) kelompok orang tertentu pada waktu tertentu pula. Definisi ini hanya mencakup zakat harta saja, tidak termasuk zakat fitrah, karena ungkapan ‘harta tertentu’ mengandung pengertian bahwa harta itu telah mencapai satu nisab, sedangkan satu nisab adalah salah satu syarat wajib zakat harta.

Yusuf al-Qardawi mengemukakan definisi: sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah menyerahkannya kepada orang-orang yang berhak. Menurutnya, zakat juga bisa berarti mengeluarkan jumlah harta tertentu itu sendiri. Artinya, perbuatan mengeluarkan hak yang wajib dari harta itu pun dinamakan zakat dan bagian tertentu yang dikeluarkan dari harta itu pun dikatakan zakat.

Hukum menunaikan zakat adalah wajib. Karena Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang kelima, dan disebut beriringan dengan shalat pada 82 ayat. Zakat adalah ibadah yang unik, selain mengandung ta’abbudi (penghambaan) kepada Allah juga menfasilitasi fungsi sosial. Allah telah menetapkan hukum wajibnya, baik dalam al-Qur’an maupun dengan hadis Nabi Muhammad SAW serta ijma’ dari umatnya. Allah berfirman dalam QS. An-Nur (24) ayat 56.


وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُون

Artinya: Dan laksanakanlah salat dengan khusyuk, berkesinambungan, dan memenuhi semua rukun, syarat, dan sunnahnya; tunaikanlah zakat secara sempurna sesuai tuntunan agama, dan taatlah kepada Rasul agar kamu diberi rahmat.

Dalam ayat lain, Allah berfirman pada surah berikut. QS. At-Taubah (9) ayat 103:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَوْتَكَ سَكَةٌ لَّهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu  membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 

Maksud dari ayat tersebut, golongan yang akan mendapat berkah dan diliputi rahmat dari Allah ialah golongan yang beriman kepada Allah dan saling memberikan bimbingan dengan bantuan dan kasih sayang, yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan, menghubungkan tali mereka dengan Allah dengan perantraan salat, dan menguatkan hubungan sesama mereka dengan jalan menunaikan zakat. 

Dari banyaknya dalil nash tersebut dapat dipahami mengenai kewajiban mengeluarkan zakat. Pemahaman ini berdasarkan pada kejelasan sighat berupa redaksi dalam bentuk fi’il amar yang berarti kewajiban/perintah dan dilalah berupa petunjuk dalil yang bersifat qoth’i. Hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia.

Hukuman bagi yang tidak bersakat dijelaskan secara jelas, ada dua jenis hukuman bagi para penentang perintah berzakat, yaitu hukuman di dunia dan hukuman di akhirat. Orang yang enggan berzakat ada kalanya karena ingkar dan ada kalanya karena kikir. Pertama, orang yang enggan berzakat karena ingkar. Siapa mengingkari kewajiban zakat, ia kafir berdasarkan ijma’ umat jika ia mengetahui kewajibannya, karena ia mendustakan Allah dan RasulNya. Kedua, orang yang berzakat karena kikir. Siapa yang enggan berzakat karena kikir, zakat dipungut secara paksa darinya dan ia tidak kafir karenanya, meski ia telah melakukan suatu dosa.

Apabila yang bersangkutan tidak berzakat sampai berperang karenanya, ia harus diperangi hingga tunduk pada perintah Allah dan menunaikan zakat, QS. At-Taubah (9) ayat 5.

فَإِذَا انسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِن تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.

Adapun rukun zakat ialah mengeluarkan sebahagian dari nisab (harta) dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai milik orang fakir, dan menyerahkannya kepadanya atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat. Zakat dihukumi wajib atas setiap muslim merdeka yang memiliki satu nisab dari salah satu jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pelaksanaan zakat yaitu: orang yang berzakat (muzakki), harta yang dikenakan zakat, dan orang yang menerima zakat (mustahiq). Zakat mempunyai syarat wajib dan syarat sah. Para ulama sepakat, syarat wajib zakat ialah merdeka, Islam, mencapai nisab, milik penuh dan mencapai haul.

Jika diurai dari pernyataan ini, maka syarat sah zakat antara lain: 

  1. Islam. Tidak sah zakat yang dikeluarkan orang kafir karena Allah tidak menerima amalan orang-orang kafir.

  2. Merdeka. Budak tidak wajib mengeluarkan zakat, karena harta budak adalah milik tuannya.

  3. Memiliki nisab. Nisab adalah ukuran harta tertentu yang ketika sudah tercapai, harta wajib dizakati. Syarat-syarat nisab:

  • Nisab berada diluar kebutuhan-kebutuhan utama yang tidak bisa dikesampingkan seseorang. Seperti kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal, karena zakat diwajibkan untuk membantu orang-orang fakir. Untuk itu, orang yang berzakat bukanlah orang miskin.

  • Nisab dimiliki seseorang secara tertentu secara penuh. Untuk itu, zakat tidak diwajibkan pada harta yang tidak dimiliki seseorang secara tertentu. Seperti uang yang terkumpul untuk membangun masjid, uang wakaf untuk kepentingan-kepentingan umum, atau uang yang berada di kotak-kotak organisasi sosial. 

  1. Milik penuh. Para fuqaha berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan harta milik. Apakah harta milik yang sudah ada di tangan sendiri, ataukah harta milik yang hak pengeluarannya berada di tangan seseorang, dan ataukah harta yang dimiliki secara asli. 

  • Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya ialah harta yang dimiliki secara utuh dan berada di tangan sendiri yang benar-benar dimiliki.

  • Mazhab Maliki berpendapat bahwa yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara penuh ialah harta yang dimiliki secara asli dan hak pengeluarannya berada di tangan pemiliknya.

  • Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara penuh ialah harta yang dimiliki secara asli, penuh, dan ada hak untuk mengeluarkannya.

  • Mazhab Hambali berpendapat bahwa harta yang dizakati harus merupakan harta yang dimiliki secara asli dan bisa dikeluarkan sesuai dengan kehendak pemiliknya.

  1. Berlalu selama satu haul (satu tahun). Haul adalah hitungan satu tahun hijriyah secara penuh. Maksudnya, nisab yang dimiliki seseorang berlalu selama dua belas bulan qamariyah. Syarat ini hanya berlaku untuk emas dan perak, barangbarang perdagangan, unta, sapi, dan kambing. Untuk tanaman, buah-buahan, barang-barang tambang, dan rikaz tidak disyaratkan haul.

 Dalam hal syarat sah pelaksanaan zakat, para fuqaha sepakat bahwa niat merupakan syarat sah pelaksanaan zakat. Caranya ialah agar ketika membayarkannya, orang yang berzakat itu hendaklah menunjukkan perhatiannya kepada keridhaan Allah dan mengharap pahala daripadaNya, sementara dalam hati ditekadkan bahwa itu merupakan zakat yang diwajibkan atas dirinya. Syarat sah yang kedua adalah tamlik (memindahkan kepemilikan harta kepada penerimanya). Tamlik menjadi syarat sahnya pelaksanaan zakat, yakni harta zakat diberikan kepada mustahiq. Dengan demikian seseorang tidak boleh memberikan makanan (kepada mustahiq), kecuali dengan jalan tamlik. Adapun terkait harta yang dimiliki anak kecil, orang gila, murtad, orang yang bodoh tentang kewajiban zakat dan orang yang terhalang untuk menyerahkan zakatnya maka dalam hal ini terjadi silang pendapat di antara para ulama.

Dalam hal baligh dan berakal, keduanya dipandang sebagai syarat oleh mazhab Hanafi. Dengan demikian, zakat tidak wajib dari harta anak kecil dan orang gila sebab keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib mengerjakan ibadah, seperti salat dan puasa. Sedangkan menurut jumhur, keduanya bukan merupakan syarat. Oleh karena itu, zakat tersebut dikeluarkan oleh walinya.

Penerima dalam zakat merupakan orang-orang pilihan yang sengaja allah pilih untuk menerima hasil zakat. Penerima zakat berjumlah 8 jenis golongan dengan yang biasa disebut asnaf tsammaniyyah. Mereka adalah orang-orang yang dijelaskan dalam alquran surat at-taubah ayat 60

 ۞ اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْم

Artinya: Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Persoalan mengenai siapa-siapa yang berhak menerima zakat memang telah diatur langsung oleh Allah tanpa ada ijtihad dari Nabi tentang kepada siapa akan didistribusikan. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud ketika datang seorang laki-laki yang meminta pembagian zakat lalu Rasulullah menjawabnya: “Sesungguhnya Allah tidak rela dengan ketetapan dari Nabi atau lainnya mengenai zakat ini, hingga diputuskanNya sendiri, dan dibagiNya atas 8 (delapan) bagian. Maka jika Anda termasuk dalam salah satu dari 8 (delapan) bagian itu, tentulah akan saya beri” Namun terdapat perbedaan diantara para ulama terkait rincian kedelapan golongan tersebut serta cara pembagiannya. Perbedaan itu terkait persoalan apakah wajib membagi rata terhadap kedelapan golongan atau diperbolehkan untuk melebihkan satu golongan atas golongan lain sesuai kondisi.

Yaitu orang-orang yang masuk ke dalam golongan dibawah ini:

  1. Fakir

Orang fakir adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak mampu (pengangguran). Tapi bukan berarti orang yang bermalas-malasan, melainkan ia sudah berusaha namun belum mendapatkan

  1. Miskin

Asnaf yang kedua adalah orang miskin. orang miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan. Namun, dari penghasilan itu ia masih belum bisa memenuhi kebutuhannya. Dicontohkan, “Misal orang yang berpenghasilan Rp50.000 ia harus membeli beras yang harga 15 sampai 20.000 dengan tanggungan keluarga sebanyak 4 orang. Anggaplah dengan pendapatan segitu orang itu tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarga, maka orang tersebut tergolong orang miskin”.

  1. Riqab

Menurut bahasa riqab berasal dari kata raqabah yang berarti leher. Budak dikatakan riqab karena budak bagaikan orang yang dipegang lehernya sehingga dia tidak memiliki kebebasan berbuat, hilang kemerdekaannya, tergadai kemerdekaannya. Riqab dalam istilah fikih zakat adalah budak (hamba) yang diberikan kesempatan oleh tuannya mengumpulkan harta untuk menebus/membeli kembali dirinya dari tuannya. Istilah lain yang digunakan oleh ulama fikih untuk menyebut riqab adalah mukatab yaitu hamba yang oleh tuannya dijanjikan akan kemerdekaan apabila hamba tersebut mampu membayar sejumlah uang atau harta

  1. Gharim 

Gharim adalah orang yang punya hutang. Hutang yang dimaksud adalah berhutang untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. 

Dalam mendefinisikan al-gharim, para ulama berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa al-gharim adalah orang yang terlilit hutang. Ada juga yang menambahkan definisi ini dengan menyertakan penyebanya. Mujahid mengatakan al-gharim adalah orang yang menanggung hutang karena rumahnya terbakar, atau hartanya terseret banjir, atau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya Ibnu Atsir menambahkan al-gharim adalah orang yang menjamin pelunasan hutang orang lain, atau orang yang bangkrut guna mencukupi kebutuhan hidup, tidak untuk berbuat maksiat atau berlaku boros (tabdzir).

  1. Muallaf

Ditinjau dari makna bahasa, muallaf berasal dari kata allafa yang bermakna shayyarahu alifan yang berarti menjinakkan, menjadikannya atau membuatnya jinak.40 Allafa bainal qulub bermakna menyatukan atau menundukkan hati manusia yang berbeda-beda. Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa muallaf ada dua macam, yaitu:

  • Orang yang sudah menganut agama Islam. Muallaf semacam ini terbagi dua pula, yaitu: a) Muslim yang imannya masih dalam keadaan lemah. Dalam keadaan semacam ini muallaf diartikan sebagai upaya membujuk hati mereka agar tetap dalam keislamannya. b) Muslim (akan tetapi mantan kafir) yang memiliki kewibawaan terhadap kawan-kawan dan kerabatnya yang masih kafir, sehingga dengan kewibawaan itu diharapkan mereka akan mengikuti jejaknya memeluk agama Islam.

  • Orang yang masih kafir. Mereka ini terbagi dua pula, yaitu: a) orang kafir yang dikhawatirkan akan mengganggu orang Islam. Kepadanya diberikan zakat dengan maksud menjinakkan dan melembutkan hatinya untuk tidak mengganggu, b) orang kafir yang dapat diharapkan untuk masuk ke dalam Islam. Kepada mereka diberikan zakat dengan harapan hatinya tertarik untuk menganut agama Islam.


  1. Fisabilillah

Secara harfiyah fisabilillah berarti pada jalan menuju (ridha) Allah. Dari pengertian harfiyah ini terlihat cakupan fisabilillah begitu luas, karena menyangkut semua perbuatan-perbuatan baik yang disukai Allah SWT. Jumhur ulama memberikan pengertian fisabilillah sebagai perang mempertahankan dan memperjuangkan agama Allah yang meliputi pertahanan Islam dan kaum muslimin. Kepada para tentara yang mengikuti peperangan tersebut, dan mereka tidak mendapat gaji dari negara, diberikan bagian dana zakat untuk memenuhi kebutuhannya. Namun demikian, ada diantara mufassirin yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan kepentingan umum, seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, pos yandu, perpustakaan, dan lain-lain.

  1. Ibnu Sabil

Secara bahasa ibnu sabil terdiri dari dua kata: ibnu yang berarti anak dan sabil yang berarti jalan. Jadi ibnu sabil adalah anak jalan, maksudnya orang yang sedang dalam perjalanan, dengan istilah lain adalah musafir. Perjalanan yang dimaksud di sini adalah perjalanan yang bukan untuk maksiat, melainkan perjalanan untuk menegakkan agama Allah SWT.

Menurut golongan Syafi’i ini, ibnu sabil itu ada dua macam. Pertama, orang yang mengadakan perjalanan di negeri tempat tinggalnya, artinya di tanah airnya sendiri. Kedua, orang asing yang menjadi musafir, yang melintasi sesuatu negeri. Kedua golongan itu berhak menerima zakat, walau ada yang bersedia meminjaminya uang, sedang di tanah airnya ada hartanya untuk pembayar nanti.

Menurut Malik dan Ahmad, ibnu sabil yang berhak menerima zakat itu khusus bagi yang melewati sesuatu negeri, bukan musafir dalam negeri. Bagi mereka pula, tidak boleh diberi zakat musafir yang menemukan seseorang yang akan mempiutanginya, sedang di kampungnya ada harta yang cukup untuk membayar hutangnya itu. Jika tidak seorangpun yang bersedia memberinya pinjaman, atau tidak punya harta untuk membayar hutangnya, barulah ia diberi bagian.


  1. Amil

Kata Amil berasal dari kata عمل–يعمل yang biasa diterjemahkan dengan “yang berbuat, melakukan, pelayan”. Amil juga bisa diartikan sebagai orang yang mengumpulkan dan mengupayakan zakat, juru tulisnya, dan yang membagibagikannya. Kata amil adalah ism fail yang bermakna pelaku dari suatu pekerjaan. Maka kata amil bermakna orang yang mengerjakan sesuatu. Imam Syafi’i pernah menyebutkan:

قال الشافعي: والعاملون عليها من واله الوايل قبضها

 Artinya: Imam Syafi’i berkata: Amil zakat adalah orang yang diangkat oleh wali/ penguasa untuk mengumpulkan zakat. 

Amil zakat adalah orang-orang yang bertugas mengumpulkan zakat yang ditunjuk pemimpin. Mereka ini juga bertugas membagibagikan zakat kepada yang membutuhkan. Amil zakat diberi bagian zakat senilai upah atas pekerjaan yang mereka lakukan, meski mereka kaya, karena amil zakat mencurahkan tenaga dan waktu untuk pekerjaan memungut dan membagikan zakat. Kecuali jika mereka sudah mendapatkan gaji dari negara. Saat itu tidak diberi bagian dari zakat.

  1. Hubungan Zakat dengan Hifdzul Mal

Yusuf Qardhawi mengungkapkan bahwa zakat adalah ibadah maliyah ijtimaiyah (yaitu ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan) yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran islam maupun dari sisi pemberdayaan pembangunan umat. Dalam al-Qur‟an kata zakat dan sholat disebutkan sebanyak 82 kali dalam rangkaian kata yang saling beriringan sehingga zakat memiliki kedudukan yang sama dengan sholat dan terdapat kurang lebih 27 ayat yang menyejajarkan sholat dengan kewajiban zakat. Zakat pula di maknai sebagai cara untuk meraih keshalehan sosial.

Karena kewajiban yang sangat tegas dan jelas tersebut, maka meninggalkan zakat secara sengaja memiliki konsekuensi yang sangat tegas pula. Dihukumi kafir bagi orang yang meninggalkan zakat. Orang-orang yang enggan membayar zakat akan dikenakan siksa yang sangat pedih di akhirat karena tergolong orang yang kafir dan dapat diperangi. Oleh karena itu, pada masa khalifah Abu bakar terdapat fenomena orang- orang yang tidak mau membayar zakat. Atas hal itu, Abu bakar melakukan ijtihad dan menetapkan untuk memerangi kaum muslim yang enggan membayar zakat.

Kewajiban zakat tentu memiliki alasan yang kuat. Selain sebagai bentuk ketaatan terhadap Allah, zakat juga memiliki manfaat dari aspek yang lain. zakat memainkan peran yang sangat penting didalam kemasyrakatan. Zakat sebagai penyalur kebutuhan kepada penerimanya. Maksudnya, tanpa perintah kewajiban zakat, cenderung umat islam yang kaya akan lalai terhadap saudara nya yang memilki kondisi ekonomi yan kurang. Karena bagaimanapun umat islam satu dengan yang lain adalah seperti suatu tubuh. Tubuh menggambarkan solidaritas umat islam yang sangat erat dan saling bergantung satu dengan yang lain. Oleh karena itu, bentuk lalai terhadap kondisi umat muslim yang lain akan berdampak buruk terhadap prinsip kesetaraan yang di ajarkan oleh islam. Badruzzaman menjelaskan tujuan zakat dari aspek filosofis nya adalah sebagai berikut:

  1. Zakat Mensucikan Jiwa dan Menghilangkan Sifat Kikir.

Zakat yang dikeluarkan si Muslim semata karena menurut perintah Allah dan mencari ridha-Nya, akan mensucikannya dari segala kotoran dosa secara umum dan terutama kotornya sifat kikir. Sifat kikir yang tercela itu, yang merupalan tabi’at manusia, yang dengannya manusia itu diuji, karena Allah Swt sebagai rasa sayang-Nya kepada manusia, menenamkan cara-cara unrtuk menghilangkan tabi’at dan watak itu. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Isra’ ayat 100, sebagai berikut:

Maka bagi manusia yang tinggi nilainya atau manusia mu’min, wajib berusaha mengatasi sifat mementingkan diri sendiri dan sifat keakuannya, berusaha menghilangkan sifat-sifat kikir itu dengan rasa keimanannya

  1. Zakat Dianggap Sebagai Pendidikan Berinfak dan Memberi

Diantara masalah yang tidak ada perbedaannya antara ulama dibidang pendidikan dan di bidang akhlak adalah bahwa sesuatu adat kebiasaan akan memberikan efek yang dalam pada akhlak manusia, cara dan pandangan hidupnya, karenanya dikatakan (bahwa adat kebiasaan itu adalah tabiat yang ke dua), artinya bahwa adat kebiasaan itu mempunyai kekuatan dan kemampuan yang mendekati (tabiat yang pertama) yang lahir bersamaan dengan lahirnya manusia. 

Orang Muslim yang bersiap-siap untuk berinfak dan mengeluarkan zakat tanamannya apabila panen, pendapatannya apabila ada, zakat hewan ternaknya, uang dan harta perdagangannya, apabila datang tahun, dan mengeluarkan zakat fitrahnya pada setiap Hari Raya Idul Fitri. Dengan ini jadilah memberi dan berinfak sifat dan akhlak utama bagi dirinya atas dasar itu pula, maka akhlak yang semacam ini merupakan sifat-sifat dari mukmin muttaqin dalam pandangan Al-Quran.

  1. Zakat sebagai Bentuk Praktik Terhadap Akhlak yang Diperintah Allah

Manusia apabila sudah suci dari kikir dan bakhil, dan sudah siap untuk memberi dan berinfak, akan naiklah ia dari kekotoran sifat kikirnya sebagaimana firman Allah: “Dan adalah manusia itu sangat kikir.” Dan ia hampir mendekati kesempurnaan sifat Tuhan, karena salah satu sifatnya adalah memberikan kebaikan, rahmat, kasih sayang dan kebajikan, tanpa ada kemanfaatan yang kembali kepadanya. Berusaha untuk menghasilkan sifat-sifat ini, sesuai dengan kemampuan manusia, adalah berakhlak dengan akhlak Allah dan itulah ujung dari kesempurnaan nilai kemanusiaan. Imam Ar-Razi mengatakan: Sesungguhnya jiwa yang berbicara-yang dengannya manusia menjadi manusia–mempunyai dua kekuatan, yaitu berfikir dan berbuat.

  1.  Zakat Merupakan Manifestasi Syukur Atas Nikmat Allah

Ibadah badaniah merupakan pembuktian rasa syukur terhadap segala nikmat badan dan ibadah harta merupakan pembuktian rasa syukur terhadap nikmat harta. Imam al ghazali berkata: “senantiasa memberikan nikmat kepada hambanya baik yang berhubungan dengan diri maupun hartanya.”

  1. Zakat Mengobati Hati Dari Cinta Dunia

Ingatan terhadap hati akan kewajibannya kepada Tuhannya dan kepada akherat serta merupakan obat, agar hati jangan tenggelam kepada kecintaan akan harta dan kepada dunia secara berlebih-lebihan. Karena sesungguhnya tenggelam kepada kecintaan dunia sebagaimana dikemukakan oleh Ar-Razi: “dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan ketakutan kepada akherat.” 

Dengan adanya syariat memerintahkan pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian harta dari tangannya, maka diharapkan pengeluaran itu dapat menahan kecintaan yang berlebih-lebihan terhadap harta, menahan agar jiwa tidak dikuasainya dan memberikan peringatan bahwa kebahagiaan hidup itu tidaklah akan tercapai dengan penundukan jiwa terhadap harta, akan tetapi justru kebahagiaan itu bisa dicapai dengan menginfakkan harta, dalam rangka mencari ridha Allah. Maka kewajiban zakat itu merupakan obat yang pantas dan tepat dalam ranggka mengobati hari agar tidak cinta dunia secara berlebih-lebihan.

  1. Zakat Mengembangkan Kekayaan Bathin 

Sesungguhnya orang yang melakukan kebaikan dan makruf serta menyerahkan yang timbul dari dirinya dan tangannya untuk membangkitkan saudara seagama dan sesama manusia dan menegakkan hak Allah pada orang itu, maka orang tersebut akan merasa besar, tegar, dan luas jiwanya serta merasakan jiwa orang yang diberinya seolah-olah berada dalam suatu gerakan. Juga orang itu telah berusaha untuk menghilangkan kelemahan jiwanya, menghilangkan egoisme-nya serta menghilangkan bujukan syaitan dan hawa nafsunya.

  1. Zakat Menarik Rasa Simpati Atau Cinta

Zakat mengikat antara orang kaya dengan masyarakatnya dengan ikatan yang kuat, penuh dengan kecintaan, persaudaraan, dan tolong-menolong. Karena manusia apabila mengetahui ada orang yang senang memberikan kemamfaatan kepada mereka, berusaha untuk memberikan kebaikan kepada mereka dan menolak, maka secara naluriyah mereka akan senang kepada orang itu, jiwa mereka akan tertarik kepadanya, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah Hadits: “secara otomatis hati akan tertarik untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya dan membenci orang yang berbuat jahat kepadanya.” (HR. Ibnu Adi).



  1. Zakat Mensucikan Harta 

 Zakat dapat mensucikan jiwa–juga ia mensucikan dan mengembangkan harta orang kaya. Karena berhubungannya hak orang lain dengan sesuatu harta, akan menyebabkan harta tersebut bercampur/kotor, yang tidak bisa suci kecuali dengan mengeluarkannya dalam sebagian riwayat dikemukakan:” terkadang telah wajib zakat pada hartamu kemudian engkau tidak mengeluarkannya maka harta yang haram akan menghancurkan harta yang halal.” Mensucikan harta peribadi dan jamaah dari sebab pengurangan dan kerusakan, tiada lain kecuali dengan melaksanakan hak Allah dan hak fakir yaitu zakat. 

  1. Zakat Tidak Mensucikan Harta yang Haram.

 Didasarkan pada hadist yaitu: Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah itu zat yang maha suci. Ia tidak akan menerima sesuatu kecuali yang suci pula.” (HR. Muslim).

  1.  Zakat Mengembangkan Harta.

Zakat pada hakekatnya akan bertambah dan berkembang akan menambah harta secara keseluruhan atau menambah harta orang kaya itu sendiri. Sesungguhnya harta yang sedikit yang diberikan itu akan kembali kepadanya secara berlipat ganda, apakah ia tahu atau tidak tahu. 

Hal itulah yang menjadi peran zakat dalam aspek sosial kemasyarakatan. Ia menjadi pilar penegak dan penyeimbang ekonomi diantara para umat islam sehingga diharapkan dari adanya syariat zakat umat islam lebih Makmur dan tercukupi dalam segi kebutuhan nya sehingga tercipta kedamaian dan kesetaraan sosial yang sama.


PENUTUP

Kesimpulan


Hifz al-mal, sebagai salah satu tujuan Maqashid Syariah, menekankan pentingnya menjaga dan melindungi harta dari penggunaan yang tidak sah atau merugikan orang lain, seperti pencurian atau korupsi. Pekerjaan halal menjadi kunci dalam melestarikan harta, karena dengan mengikuti syariat Islam, harta diperoleh secara sah dan bersih dari unsur haram. Pekerjaan halal juga dipandang sebagai ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar, sehingga memelihara keberkahan dalam hidup. Selain itu, zakat berperan penting dalam membersihkan harta dan mendistribusikannya kepada yang berhak, seperti fakir miskin, untuk menciptakan keadilan ekonomi dan mencegah ketimpangan sosial. Dengan kombinasi pekerjaan halal dan zakat, prinsip hifdzul mal terpenuhi, menjaga keseimbangan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam masyarakat Islam.



DAFTAR PUSTAKA


Admin. 2020. Muidigital: “Bagaimana Pandangan Islam tentang Bekerja di Luar Mencari Nafkah?”, https://mirror.mui.or.id/tanya-jawab-keislaman/28339/bagaimana-pandangan-islam-tentang-bekerja-di-luar-mencari-nafkah/, diakses pada 13 Oktober 2024. 

al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2004. Fathul Bari. Diterjemahkan Oleh. Amiruddin, Lc. Jakarta: Pustaka Azzam.

al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah. Sahih al-Bukhari. Dalam maktabah al-Shamilah, juz II.

al-Zuhaily, Wahbah, 2008. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Cet. VII; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Atsir, Ibnu. 1349 H. Jami’ul Ushul fi Ahaditsi Rasul. Mesir: Maktabah Al-Halwani.

at-Thabari, Ibnu Jarir. 1373 H. Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an. Mesir: Maktabah Mushthafa al-Baby al-Halaby.

Badruzaman Badruzaman, “ Aspek-aspek Filosofis Zakat Dalam Al-qur'an Dan As-sunnah”,  Jurnal Asas : No 1 (2017) : 40-45

Bahammam, Abdullah Salim. 2019. Panduan Fiqh Ibadah Bergambar: Pembahasan Lengkap Seputar Thaharah, Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji. Diterjemahkan Oleh Umar Mujtahid, Lc. Cet. VI; Solo: Zamzam.

Bariadi, Zen dan Hudri. 2005. Zakat dan Wirausaha. Jakarta: CED (Centre for Entrepreurship Development.

Dahlan, Abdul Azis. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 6. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeven

Ilham, Muhammad. 2021. “Harmonisasi Asuransi Syariah dalam Maqashid Syariah dan Perundungan di Indonesia” dalam Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 21, No. 02, Riau: STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau.

Indiastuti, Rina. 2014. Rubrik: “Bekerja Profesional dan Cerdas Menurut Islam”, https://www.unpad.ac.id/rubrik/bekerja-profesional-dan-cerdas-menurut-islam/, diakses pada 13 Oktober 2024.

Kementerian Agama R.I. 2013. Panduan Zakat Praktis. Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan Pemberdayaan Zakat.

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir.

Sabiq, Sayyid. 1978. Fiqhussunnah 3 Diterjemahkan Oleh. Mahyuddin Syaf, Fikih Sunnah 3. Bandung: PT. Alma’arif.

Safriadi. Dinamika Amil Zakat di Indonesia. Pamekasan :Duta Media Publishing, 2023

Thoriquddin, Moh. 2015. Pengelolaan Zakat Produktif Perspektif Maqasid al-Syari’ah Ibnu ‘Asyur. Cet. I; Malang: UIN-Maliki Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Etika Digital dalam Perspektif Hadis: Panduan Berinteraksi di Era Media Sosial Oleh : M. Khoirul Irfan Albazuri Tulisan ini disusun gu...